[Part 1] Sekolah Biasa Saja


Sebelum masuk kedalam tulisan, ada bait puisi karangan WS. Rendra yang akan saya jadikan pengantar 

“Seonggok Jagung”

Seonggok jagung di kamar, Tak akan menolong seorang pemuda
Yang pandangan hidupnya berasal dari buku, dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode, dan hanya penuh hafalan dan kesimpulan,
Yang hanya terlatih sebagai pemakai, tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan,

Aku bertanya ;
Apakah gunanya pendidikan bila hanya membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalan?
Apakah gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibukota kikuk pulang ke daerahnya ?

Apakah gunanya seseorang belajar filsafat, sastra, tekhnologi, ilmu kedokteran, atau apa saja,
Bila pada akhirnya ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“disini aku merasa asing dan sepi!”

Pernah terlintas tidak jika mimpi tinggi bagi beberapa anak di desa adalah sekolah di luar kota, setelah selesai dalam mengenyam di luar kota maka akan berjenjang pindah ke luar negeri ? semacam berjenjang dan berkelanjutan tapi apakah makna korelasinya bagi dampak lainnya ?  Mari kita bahas satu persatu
Sekolah telah menjadi pembentuk komodifikasi sumberdaya manusia. Manusia dinilai sebagai SDM yang dapat diperdagangkan. Semakin tinggi tingkat sekolah orang-orang desa , semakin tinggi pula aspirasi, motif dan dorongan mereka untuk merantau mendapatkan harga yang tinggi dan sesuai. Sekolah tanpa disadari mengajarkan ilmu pergi-pergi, meski sebagian familiar “pergi untuk pulang” tapi pasti “besoknya lagi kembali pergi” begitu bukan ?

Pemuda pemudi sekarang ini telah dan sedang menganut ideologi bahwa tenaga kerja manusia adalah komoditi. Lulusan sekolah menjadi tenaga kerja dan urban. Cara mereka berpikir dan bertindak berbeda dengan orang tua mereka. Sederhananya, virtual telah menjadi identitas tersendiri bagi mereka apalagi setelah adanya Work From Home ini, semua seakan bisa diakses oleh virtual dengan globalisasi yang benar tanpa batas.
Akan ada fase keberadaan mereka memenuhi suatu kota. Migrasi ke kota yang dipadati akan perpindahan dari desa melahirkan suatu strata tersendiri. Mereka yang terdidik mungkin akan ada di kelas menengah di kota-kota yang pada umumnya pilihan dilemanya adalah mereka takan kembali lagi ke desa.
Tanpa disadari, mereka akan termasuk menjadi bagian dari penduduk yang konsumtif, yang awalnya hanya membeli sepeda motor lalu mobil, kemudian menyewa tanah dan membangun infarstruktur infrastruktur tinggi yang menyebabkan penambahan kemacetan dan polusi.
Di beberapa perdesaan yang masih memiliki lingkungan geografis berupa sawah dan kebun akan sulit ditemukan pemuda pemudi yang sedang bercocok tanam, yang kita lihat adalah yang renta-renta seakan tak ada penerusnya lalu pertanyaan lagi untuk apa sekolah dan institut tinggi sespesifik pertanian dibangun ?
Cukup sampai disini siapa objek atau subjek yang bisa kita salahkan ? sistem, manusia ? tidak! disini lagi-lagi kita hanya butuh nalar kesadaran untuk memahami masalah seperti ini.
Penggalan buku pengantar ini benar-benar memperlihatkan sekelumit kecil wajah pendidikan kita yang semakin lama sepertinya telah kehilangan ruh asli dari tujuan sebuah pendidikan.
Atas dasar modernisasi dan globalisasi, ternyata kita termasuk yang mengikuti dalam arus asing yang mengasingkan. Seolah menepi untuk menambah ilmu, melainkan memisahkan dari kehidupan sebenaranya.
Rangkaian garis besar bagian dari pengantar buku “Sekolah Biasa Saja” Karya Toto Rahardjo yang mengobservasi sebuah sekolah bernama SALAM yang merupakan singkatan Sanggar Alam.
Isinya akan mendokumentasikan konsep dan praktik proses belajar SALAM yang menanggap bahwa alam semesta adalah sekolah ( laboratorium ) yang sesungguhnya, proses belajar memaknainya adalah proses sepanjang hidup. Jadi yang dimaksud dengan pendidikan seumur hidup tidak akan mungkin dihentikan hanya karena telah menyelesaikan atau menamatkan hal tertentu.
Metode dengan hanya mendengarkan tidak akan mampu bertahan lama karena ada penelitian bahwa kesadaran serta pengetahuan seseorang yang tak lekang oleh apapun antara lain berkisar dari 20% mendengar, 50% melihat, 70% mendengar dan melihat dan 90% bila praktik.
Hal ini yang melandaskan Pak Butet untuk memperbaiki masa lalu yang menurut pribadinya cukup buruk rangkaian masa lalu dalam mengenyam bangku pendidikan yang akhirnya ia memilih drop out dari perguruan tinggi.
Isi dalam buku ini sungguh sangat dalam. Buku ini diperuntukan bagi siapa saja yang pernah atau sedang  mengenyam bangku sekolahan, agar bisa mengkoreksi daya nalar kritis tentang apa makna sekolah dan makna pendidikan yang sesungguhnya



Komentar