Sebelum masuk kedalam tulisan, ada bait puisi karangan WS. Rendra yang akan
saya jadikan pengantar
“Seonggok Jagung”
Seonggok jagung di kamar, Tak akan menolong
seorang pemuda
Yang pandangan hidupnya berasal dari buku, dan
tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode, dan hanya
penuh hafalan dan kesimpulan,
Yang hanya terlatih sebagai pemakai, tetapi
kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan,
Aku bertanya ;
Apakah gunanya pendidikan bila hanya membuat
seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalan?
Apakah gunanya pendidikan bila hanya mendorong
seseorang menjadi layang-layang di ibukota kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang belajar filsafat, sastra,
tekhnologi, ilmu kedokteran, atau apa saja,
Bila pada akhirnya ketika ia pulang ke
daerahnya, lalu berkata :
“disini aku merasa asing dan sepi!”
Pernah terlintas tidak jika mimpi tinggi bagi
beberapa anak di desa adalah sekolah di luar kota, setelah selesai dalam
mengenyam di luar kota maka akan berjenjang pindah ke luar negeri ? semacam berjenjang dan berkelanjutan tapi apakah makna korelasinya bagi dampak lainnya ? Mari kita bahas satu persatu
Sekolah telah menjadi pembentuk komodifikasi
sumberdaya manusia. Manusia dinilai sebagai SDM yang dapat diperdagangkan.
Semakin tinggi tingkat sekolah orang-orang desa , semakin tinggi pula aspirasi,
motif dan dorongan mereka untuk merantau mendapatkan harga yang tinggi dan
sesuai. Sekolah tanpa disadari mengajarkan ilmu pergi-pergi, meski sebagian
familiar “pergi untuk pulang” tapi pasti “besoknya lagi kembali pergi” begitu
bukan ?
Pemuda pemudi sekarang ini telah dan sedang
menganut ideologi bahwa tenaga kerja manusia adalah komoditi. Lulusan sekolah
menjadi tenaga kerja dan urban. Cara mereka berpikir dan bertindak berbeda
dengan orang tua mereka. Sederhananya, virtual telah menjadi identitas
tersendiri bagi mereka apalagi setelah adanya Work From Home ini, semua seakan
bisa diakses oleh virtual dengan globalisasi yang benar tanpa batas.
Akan ada fase keberadaan mereka memenuhi suatu
kota. Migrasi ke kota yang dipadati akan perpindahan dari desa melahirkan suatu
strata tersendiri. Mereka yang terdidik mungkin akan ada di kelas menengah di
kota-kota yang pada umumnya pilihan dilemanya adalah mereka takan kembali lagi
ke desa.
Tanpa disadari, mereka akan termasuk menjadi
bagian dari penduduk yang konsumtif, yang awalnya hanya membeli sepeda motor
lalu mobil, kemudian menyewa tanah dan membangun infarstruktur infrastruktur
tinggi yang menyebabkan penambahan kemacetan dan polusi.
Di beberapa perdesaan yang masih memiliki
lingkungan geografis berupa sawah dan kebun akan sulit ditemukan pemuda pemudi
yang sedang bercocok tanam, yang kita lihat adalah yang renta-renta seakan tak
ada penerusnya lalu pertanyaan lagi untuk apa sekolah dan institut tinggi
sespesifik pertanian dibangun ?
Cukup sampai disini siapa objek atau subjek yang
bisa kita salahkan ? sistem, manusia ? tidak! disini lagi-lagi kita hanya butuh
nalar kesadaran untuk memahami masalah seperti ini.
Penggalan buku pengantar ini benar-benar
memperlihatkan sekelumit kecil wajah pendidikan kita yang semakin lama
sepertinya telah kehilangan ruh asli dari tujuan sebuah pendidikan.
Atas dasar modernisasi dan globalisasi,
ternyata kita termasuk yang mengikuti dalam arus asing yang mengasingkan. Seolah
menepi untuk menambah ilmu, melainkan memisahkan dari kehidupan sebenaranya.
Rangkaian garis besar bagian dari pengantar
buku “Sekolah Biasa Saja” Karya Toto Rahardjo yang mengobservasi sebuah sekolah
bernama SALAM yang merupakan singkatan Sanggar Alam.
Isinya akan mendokumentasikan konsep dan
praktik proses belajar SALAM yang menanggap bahwa alam semesta adalah sekolah (
laboratorium ) yang sesungguhnya, proses belajar memaknainya adalah proses
sepanjang hidup. Jadi yang dimaksud dengan pendidikan seumur hidup tidak akan
mungkin dihentikan hanya karena telah menyelesaikan atau menamatkan hal
tertentu.
Metode dengan hanya mendengarkan tidak akan
mampu bertahan lama karena ada penelitian bahwa kesadaran serta pengetahuan
seseorang yang tak lekang oleh apapun antara lain berkisar dari 20% mendengar,
50% melihat, 70% mendengar dan melihat dan 90% bila praktik.
Hal ini yang melandaskan Pak Butet untuk
memperbaiki masa lalu yang menurut pribadinya cukup buruk rangkaian masa lalu
dalam mengenyam bangku pendidikan yang akhirnya ia memilih drop out dari
perguruan tinggi.
Isi dalam buku ini sungguh sangat dalam. Buku
ini diperuntukan bagi siapa saja yang pernah atau sedang mengenyam bangku sekolahan, agar bisa
mengkoreksi daya nalar kritis tentang apa makna sekolah dan makna pendidikan
yang sesungguhnya
Komentar
Posting Komentar