Malam itu seperti biasa, aku menulis stori di whatsapp
"drrrrrt" getar dan notif
masuk secara bersamaan, ada balasan “tidur sana, kamu suka banget begadang.
dapat apa dari begadang ?”
“tidak
dapat apa-apa, kenapa ?”
“tidur, barangkali kita bertemu di mimpi” jawabnya sepersekian detik setelah centang biru itu muncul.
Aku membaca pesannya, tertera pula centang biruku. Aku tak membalas apa-apa. fikirku bahwa aku sengaja menanti malam, menanti istirahatnya dari penatnya aktivitas. Meski memang aku bukan sosok ‘baik’ untuknya, aku saja bahkan sulit mengucap “semangat kembali” kepadanya, aku kaku untuk mengirim pesan singkat berupa doa.
Aku sengaja seperti menunggu tanpa bilang “aku sedang menungguimu”, dan saat kurasa kamu datang, sesaat kamu seperti menghentikan waktuku untuk menunggu dengan ucapan “tidur sana” yang sebenarnya tidak ada masalah dengan kata-kata itu, bisa saja itu bentuk perhatianmu padaku.
Aku bingung
diksi apa yang harus kuberi, apakah aku sopan membiarkan pesan yang sengaja
kutunggu hanya dengan membiarkan pesan itu begitu saja ? baiklah, aku mencoba
menghargainya meski kutau ini bukan bentuk penghargaan yang baik, aku menandai
pesannya sebagai belum dibaca.
Waktu sudah menunjukan pukul 02.24 WIB. Aku mencoba memejamkan mataku, tak berharap
apapun dan tak berpikir apapun. Aku mulai terlelap tidur, dia ? entah.
Tak lama kemudian seminggu atau sebulan setelahnya, saat kami sudah tak berkomunikasi intens, tiba-tiba semesta mempertemukan kita tanpa direncana. Kita tertawa untuk menertawakan lucunya candaan semesta yang ternyata bisa berpihak juga kepada kita yang sedang mengasingkan diri walau tak pernah benar-benar asing. Saat itu kita pernah berfikir “apakah ini jawaban dari doa masing-masing kita ?” entah coba kita lihat episode selanjutnya.
Selanjutnya, kita sama-sama kembali pada jalan dan arah masing-masing. Ini adalah scene yang paling tak pernah bisa kulepas dari memori, scene pendek berisi “Semoga Allah membersamaimu” terkesan kaku bukan ? namun justru point mengesankannya memang disitu.
Setelah itu, semesta kembali bercanda. Bercanda akan hal yang sebenarnya tak bisa dihaha-hihikan semudah itu, setelah ia menyatukan secara tiba-tiba, tiba-tiba pula ia lalu memisahkan. Ya kita berpisah, mungkin benar-benar pisah. Aku mulai memaknai hal tentang kita bahwa kita memang pasti, pasti bahwa ternyata tidak ada kepastian diantara kita. Saat itu aku mulai benar benar belajar menerima rasa sakit hingga ikhlas atas apapun itu tentangmu.
Saat aku mulai
menikmati rasa yang mulai hambar dan pudar, satu hal yang ku ketahui “aku tak pernah benar-benar melakukan sesuatu dengan alasan kamu.”
Hal sekecil begadang, kusadari aku lakukan bukan karena aku menunggui kabarmu – melainkan karena aku memang tidak bisa menegosiasi mataku untuk terpejam. Sungguh aku kesel sama mataku, otakku dan perasaanku. apakah mereka bisa berkompromi hanya jika melihat kenyataan bahwa fisikku telah melemah, jantungku mulai berdegup perlahan, organku mulai kelelahan ? sungguh aku tersakiti dan menyakiti diriku sebegitu hebatnya memang.
“Ok, aku akan
sangat memaksamu untuk tidur wahai mata dan otak !” syukurnya aku bisa tertidur
meski tak langsung tidur. Sungguh anehnya, setelah tidurpun aku tak langsung
nyenyak , aku tiba-tiba bemimpi. Kau mau tau apa mimpiku ?
Setelah sekian lama aku tak pernah bermimpi, lucunya kali ini aku memimpikan orang yang pernah berkata “Barangkali kita bertemu dalam mimpi”
Didalam mimpi, aku menemukan alur cerita yang menyiratkan sesuatu. Oh
alurnya lucu sekali, kita kembali bertemu pada alur kisah saat itu. Dia
mendatangiku ke tempatku, kutanya “kenapa jauh-jauh kesini ?” awalnya aku masih
kaku. Dia terlihat hangat namun menjawab singkat “mengganggu ya ?”
Sempat beberapa saat berada pada perang batin terkait sikap apa
yang harus kuberi, aku telah menyesali beberapa sikap dingin yg pernah ada
hanya karena aku tahu aku terlalu jahat untuk menyikapi kebaikannya. Padahal
andai ia tahu, semua ini ku lakukan hanya karena aku tak ingin ia tahu, aku
memiliki rasa yang bahkan mungkin melebihi perasaannya.
Aku membenci berada di momen dimana aku terpaksa harus berdiskusi
untuk mengalahkan diriku sendiri. Kulihat dia masih berada disampingku berjarak
satu bangku. kujawab “engga pernah mengganggu, ada yang mau disampaikan ?“ dia
tersenyum kecil yang disertai dengan anggukan.
Tiba-tiba sepersekian detik aku seperti terbawa pada alur mundur bahwa
kita telah berada pada tempat yang berbeda, namun kita masih bersama . Kurasa, aku sedikit melebur untuk menanggapi
beberapa ceritanya, namun entah kenapa aku seperti kekeuh untuk pergi
darinya. Ilustrasiku aku seperti harus ‘pulang’, namun saat itu juga aku tak ingin kehilangannya untuk kesekian kali .“Aku pulang sebentar, tunggu ya” aku melihat ia hanya mengangguk
sabar.
Di perjalanan pulang aku merasa aneh, kenapa aku harus 'pulang' ?
dengan tidak menemaninya apakah itu bisa dibilang aku telah melakukan ‘perubahan
yg baik’, aku sadar aku terlalu banyak
menyepelekan kebaikannya dan aku tahu, aku benci aku yang seperti ini.
Perjalanan ku lakukan secara tergesa-gesa. Hatiku antara yakin dan
tidak, yang penting aku telah berusaha. Aku berlari kembali ke tempat tujuan
dan ternyata aku tak menemukannya disana, kubilang pada hatiku “kepergiannya
tak pernah salah, yang salah adalah perlakuanku padanya.”
Biasanya aku akan kembali pergi dan mengikhlaskannya begitu saja,
namun anehnya saat itu aku seperti mencoba memberanikan diri menanyakan
keberadaannya pada teman-temanku. Beberapa bilang tak tahu, beberapa bilang dia
sudah pergi. Saat di detik-detik pencarian, ada teman lamaku berkata “yang
pakai baju (deskripsi warna bajunya) itu ya” ku jawab “iya, kamu lihat ?” asa-ku seketika
berharap penuh padanya.“tadi ia pergi kearah sana”
Mendengar jawabannya, “bisa antarkan dan tunjukan
jalannya?” aku tahu, ini bukan aku yang seperti biasanya. Aku merasa ada keanehan
yang menyelimuti diri ini, seakan biasanya aku menggantungkan harapan namun ya-udahlah
tapi entah kenapa kali ini aku berusaha cukup all-out hanya untuk menemuinya.
Temanku mengantarkanku ke tempat yang dimana perjalanan menuju
tempat itu memerlukan tekad nyali yang
kuat. Kita bertemu dengan jalan bergelombang yang panjang, menyusuri lorong
sempit yang terjal, menjajali tanah licin yang pelik. Temanku hampir menyerah,
anehnya aku bisa-bisanya berkata “ayok semangatt kita bisa ya” haha aku menyemangati dia hanya untuk
mengantarkanku kepada sosok yang bahkan aku tak tahu kepastiannya sudah pergi
atau masih disana.
Temanku kembali termotivasi, lalu ia kembali bangkit hingga
akhirnya saat kita telah menemui penghujung jalan gelap, kita bertemu jalan
terang di suatu latar berupa sawah hijau menghampar ditengahnya berdiri sebuah
gubuk yang sederhana, di lembayung senja yang sendu tiba-tiba temanku berteriak
memanggil namanya, tak disangka muncul sesosok orang yang sedari tadi
kufikirkan, berlari menuju arah kami.
Suasana langit tiba-tiba sangat sendu dan romantis. Dunia dipenuhi
riuh semesta yang seakan seperti memberi kata selamat, anak-anak Kerbau pulang
ke kandangnya dengan raut penggembala yang sukacita. Para anak-anak kecil masih
bermain bola di petakan sawah sembari riang gembira. Oh Tuhan, saat itu aku
merasakan ‘mengasingkan untuk menemukan’ berakhir dengan keindahan.
Kita menepi menuju tengah, kulihat banyak teman dekatku (sahabatku)
disekelilingku mereka tersenyum. Aku dan dia benar-benar bertemu. Kita
tersenyum tanpa kata namun penuh makna, dunia seperti terhenti seketika. Saat
itu untuk pertama kalinya kita tak mengukir jarak, kita ikut tertawa bahagia
melihat anak-anak kecil yang sedang bermain di sawah itu, semua seperti
terbayar sgalanya. Saat itu kita seperti disadarkan kita sama-sama asing untuk
sama-sama menjaga dan berjuang, hingga akhirnya semesta mempertemukan kita. yaa
kita bertemu, bertemu dalam mimpi.
Komentar
Posting Komentar