[Part 2] Sekolah Biasa Saja

Berbicara Tentang Sekolah Dan Taman

 

Dengan membaca, saya akan mengajak kalian membayangkan sekolah sebagai taman yang kelak kita akan melihat dan melakukan praktik pembelajaran dalam suasana yang mirip dengan taman.

Taman identik dengan kegembiraan, keceriaan, warna-warni dan penuh akan kehidupan. Tak jarang, taman adalah tempat yang bisa membuat kita menjadi nyaman hingga akhirnya melahirkan suatu kenangan tersendiri, taman unimus misalnya hehe. Taman pasti berbeda dengan struktur kelas ataupun penjara. Taman tidak mengungkung, membelenggu serta membikin manusia tak memiliki harapan lagi.

Untuk menggambarkan intuisi yang sedang saya pikirkan, saya akan memberi sedikit cuplikan tentang tiga sosok besar yaitu Tagore, Ki Hadjar Dewantara, dan Julius Nyerere.

Berbicara tentang Tagore, dunia terkhusus di Bidang Sastra Tagore terkenal sebagai penyair di India sekaligus seorang guru. Pada tahun 1901, Tagore mendirikan Ashram Santhiniketan di daerah Bengal Barat, India.

Tagore mengembangkan pendidikan ini menjadi Universitas Internasional Visha Bharati yang memiliki cita-cita mengkulturasikan kultur timur dan barat untuk misi perdamaian dunia. Hal ini menjadikan lulusan alumninya memiliki intelektual ekonom bermisi kemanusiaan yang tentunya sejalan dengan visi berdirinya universitas tersebut.

Alkisah seorang kepala sekolah yang terkenal akan menjunjung tinggi kedisiplinan berkunjung ke Santiniketan. Begitu sampai disana, ia dikejutkan akan siswa Tagore yang sedang memanjat pohon sembari membaca buku.

Seakan mengerti apa yang difikir tamunya, Tagore berkata kepada kepsek itu ;“Masa kanak-kanak adalah salah satunya masa dimana orang bebas memilih antara bermain atau bersekolah. Haruskah saya melarang anak itu demi menikmati hak isitimewanya hanya karena menurut saya sebagai orang dewasa hal itu tak pantas dilakukan?”

Setelah melihat kemampuan ilmu tanaman si siswa tadi saat kepsek tersebut sedang mengajar, ia baru yakin bahwa ilmu pengetahuan tentang pohon lebih berharga daripada pelajaran teori yang ia dapatkan dengan duduk manis didalam kelas. Hal itu menandakan, siswa di Santiniketan telah mendapatkan ilmu fisik ( Fisiogonomi ) tentang pohon hanya karena mereka langsung berinteraksi dengan pohon. 

ika teman teman ingin mengenal Santhiniketan lebih dalam sekarang ia merupakan kota yang identik dengan pendidikan yang meniru konsep alam untuk menciptakan ketenangan dan perdamaian.

Di Indonesia, konsep Santhinikethan diadaptasi oleh Ki Hajar Dewantara yang diterapkan ke Tamansiswa yang menggunakan kata “Taman” dan “siswa” dalam mendirikan pondasi dalam prosesnya di bidang pendidikan.

 Pendidikan seakan digambarkan sebagai sebuah taman dalam menyelengarakan prosesnya. Dalam prinsipnya, pedoman yang terkenal bagi guru disini adalah Patrap Triloka yang memiliki unsur ing ngarsa sang tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handhayani yang pastinya sudah sangat familiar di pendidikan.

Bergerak ke Julius sang pejuang kemerdekaan Tanzania, ia terkenal dengan kebijakannya yaitu Familyhood. Ia berpandangan bahwa sekolah adalah kebun atau ladang garapan yang didalamnya anak-anak Tanzania akan belajar pengalaman nyata dalam kehidupan sistem pertanian kolektif nasional. Julius yang melihat sumber daya alamnya berupa pertanian menjadikan pertanian mencetuskan suatu sistem pendidikan yang relevan bagi mereka.

---------------------------------------------------

Schola, School, Sekolah.

Secara etimologi, sekolah yang berbahasa latin schola bermakna “waktu luang” atau “waktu senggang.” Yang diadopsi dalam bahasa Inggris menjadi school.

Dahulu, sekolah hanya diperuntukan bagi kaum laki-laki Yunani yang dalam mengisi wkatu luangnya mereka singgah dan mengunjungi suatu tempat yang disana ada sesorang yang bijaksana untuk menjadi sumber jawaban atas pertanyaan yang akan mereka tanyakan.Mereka menyebut kegiatan ini dengan scola, skhole, schola yang sama sama memili arti “ waktu luang untuk digunakan belajar.”

Perlahan, hal ini tidak hanya dilakukan teruntuk lelaki saja, melainkan perempuan dan anak-anakpun boleh mengikut sekolah. Hal itu hampir sama terjadi seperti perkembangan sekolah yang ada di Indonesia.

Perkembangan kehidupan yang kian beragam dan menyita waktu kepada orang tua, maka ayah dan ibu merasa tidak punya waktu luang untuk mengajarkan berbagai hal bagi anaknya.Oleh karena itu, mereka merasa harus menitipkan anaknya kepada orang yang bijaksana/paham dalam beberapa bidang yang sesuai.

Di tempat itu, anak-anak boleh bermain, belajar, berlatih melakukan seseuatu hal yang inigin ia ketahui hingga pada akhirnyakelak mereka harus kembali ke rumah memnjalankan kehidupan sebagai sesorang dewasa.

Sejak itulah, terjadi pengalihan sebagian fungsi dari sekolah materna  (kepengasuhan sampai usia tertentu) menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak sebagai pengganti ayah dan ibu) hingga tanpa kita sadari justeru lembaga pendidikan ini yang biasa kita sebut dengan “almamater” dijadikan sebagai “ibu yang mengasuh” dan “ibu yang memeberi ilmu”

Kesimpulannya adalah, sekolah yang sebenarnya merupakan tempat mengembangkan bakat, minat, rasa “ceria” untuk belajar, menjadi manusia berilmu, merasa berkembang bukan seperti alat atau tempat yang dipaksauntuk mengikuti kurikulum tertentu yang bisa mengajarkan kebosanan bahkan kebencian terhadap belajar.

 

 


Komentar