Berbicara Tentang Sekolah Dan Taman
Dengan membaca, saya akan mengajak kalian membayangkan sekolah sebagai
taman yang kelak kita akan melihat dan melakukan praktik pembelajaran dalam
suasana yang mirip dengan taman.
Taman identik dengan kegembiraan, keceriaan, warna-warni dan penuh
akan kehidupan. Tak jarang, taman adalah tempat yang bisa membuat kita menjadi
nyaman hingga akhirnya melahirkan suatu kenangan tersendiri, taman unimus
misalnya hehe. Taman pasti berbeda dengan struktur kelas ataupun penjara. Taman
tidak mengungkung, membelenggu serta membikin manusia tak memiliki harapan
lagi.
Untuk menggambarkan intuisi yang sedang saya pikirkan, saya akan
memberi sedikit cuplikan tentang tiga sosok besar yaitu Tagore, Ki Hadjar
Dewantara, dan Julius Nyerere.
Berbicara tentang Tagore, dunia terkhusus di Bidang Sastra Tagore
terkenal sebagai penyair di India sekaligus seorang guru. Pada tahun 1901,
Tagore mendirikan Ashram Santhiniketan di daerah Bengal Barat, India.
Tagore mengembangkan pendidikan ini menjadi Universitas Internasional
Visha Bharati yang memiliki cita-cita mengkulturasikan kultur timur dan barat
untuk misi perdamaian dunia. Hal ini menjadikan lulusan alumninya memiliki
intelektual ekonom bermisi kemanusiaan yang tentunya sejalan dengan visi
berdirinya universitas tersebut.
Alkisah seorang kepala sekolah yang terkenal akan menjunjung tinggi
kedisiplinan berkunjung ke Santiniketan. Begitu sampai disana, ia dikejutkan
akan siswa Tagore yang sedang memanjat pohon sembari membaca buku.
Seakan mengerti apa yang difikir tamunya, Tagore berkata kepada kepsek
itu ;“Masa kanak-kanak adalah salah satunya masa dimana orang bebas memilih
antara bermain atau bersekolah. Haruskah saya melarang anak itu demi menikmati
hak isitimewanya hanya karena menurut saya sebagai orang dewasa hal itu tak
pantas dilakukan?”
Setelah melihat kemampuan ilmu tanaman si siswa tadi saat kepsek
tersebut sedang mengajar, ia baru yakin bahwa ilmu pengetahuan tentang pohon
lebih berharga daripada pelajaran teori yang ia dapatkan dengan duduk manis
didalam kelas. Hal itu menandakan, siswa di Santiniketan telah mendapatkan ilmu
fisik ( Fisiogonomi ) tentang pohon hanya karena mereka langsung berinteraksi
dengan pohon.
ika teman teman ingin mengenal Santhiniketan lebih dalam sekarang ia
merupakan kota yang identik dengan pendidikan yang meniru konsep alam untuk
menciptakan ketenangan dan perdamaian.
Di Indonesia, konsep Santhinikethan diadaptasi oleh Ki Hajar Dewantara
yang diterapkan ke Tamansiswa yang menggunakan kata “Taman” dan “siswa” dalam
mendirikan pondasi dalam prosesnya di bidang pendidikan.
Pendidikan seakan digambarkan
sebagai sebuah taman dalam menyelengarakan prosesnya. Dalam prinsipnya, pedoman
yang terkenal bagi guru disini adalah Patrap Triloka yang memiliki unsur ing ngarsa sang tuladha, ing madya
mangun karsa, tut wuri handhayani yang pastinya sudah sangat familiar di
pendidikan.
Bergerak ke Julius sang pejuang kemerdekaan Tanzania, ia terkenal
dengan kebijakannya yaitu Familyhood. Ia berpandangan bahwa sekolah adalah
kebun atau ladang garapan yang didalamnya anak-anak Tanzania akan belajar
pengalaman nyata dalam kehidupan sistem pertanian kolektif nasional. Julius
yang melihat sumber daya alamnya berupa pertanian menjadikan pertanian
mencetuskan suatu sistem pendidikan yang relevan bagi mereka.
---------------------------------------------------
Schola, School, Sekolah.
Secara etimologi, sekolah yang berbahasa latin schola bermakna “waktu
luang” atau “waktu senggang.” Yang diadopsi dalam bahasa Inggris menjadi
school.
Dahulu, sekolah hanya diperuntukan bagi kaum laki-laki Yunani yang
dalam mengisi wkatu luangnya mereka singgah dan mengunjungi suatu tempat yang
disana ada sesorang yang bijaksana untuk menjadi sumber jawaban atas pertanyaan
yang akan mereka tanyakan.Mereka menyebut kegiatan ini dengan scola, skhole,
schola yang sama sama memili arti “ waktu luang untuk digunakan belajar.”
Perlahan, hal ini tidak hanya dilakukan teruntuk lelaki saja,
melainkan perempuan dan anak-anakpun boleh mengikut sekolah. Hal itu hampir
sama terjadi seperti perkembangan sekolah yang ada di Indonesia.
Perkembangan kehidupan yang kian beragam dan menyita waktu kepada
orang tua, maka ayah dan ibu merasa tidak punya waktu luang untuk mengajarkan
berbagai hal bagi anaknya.Oleh karena itu, mereka merasa harus menitipkan
anaknya kepada orang yang bijaksana/paham dalam beberapa bidang yang sesuai.
Di tempat itu, anak-anak boleh bermain, belajar, berlatih melakukan
seseuatu hal yang inigin ia ketahui hingga pada akhirnyakelak mereka harus
kembali ke rumah memnjalankan kehidupan sebagai sesorang dewasa.
Sejak itulah, terjadi pengalihan sebagian fungsi dari sekolah
materna (kepengasuhan sampai usia
tertentu) menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak sebagai
pengganti ayah dan ibu) hingga tanpa kita sadari justeru lembaga pendidikan
ini yang biasa kita sebut dengan “almamater” dijadikan sebagai “ibu yang
mengasuh” dan “ibu yang memeberi ilmu”
Kesimpulannya adalah, sekolah yang sebenarnya merupakan tempat mengembangkan
bakat, minat, rasa “ceria” untuk belajar, menjadi manusia berilmu, merasa
berkembang bukan seperti alat atau tempat yang dipaksauntuk mengikuti kurikulum
tertentu yang bisa mengajarkan kebosanan bahkan kebencian terhadap belajar.
Komentar
Posting Komentar