[Part 3] Sekolah Biasa Saja

Sekolah Bukan Perusahaan

Bermula dari tiga sosok diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa mendirikan sekolah berbeda dengan mendirikan perusahaan. Mengelola sekolah tentunya tak bisa disamakan dengan mengelola bisnis.

Namun, kenyataan yang kita temui sekarang sekolah sudah semacam perusahaan yang menerapkan sistem seleksi yang begitu ketat bagi calon pelamarnya.

Bagi yang tak lulus tes dinyatakan tak sesuai dengan kompetensi yang harus ada, pernahkah kita merasakan menjadi orang yang berharap dan berkemauan mengenyam suatu cita-cita namun nyatanya hal itu ditolak mentah- mentah ? sakit bukan .

Sekilas saya potong, saya jadi ingat pembicaraan saya dengan teman deadline saya yang sekarang menjadi komting bahwa “jika yang boleh sekolah di suatu sekolah terpandang (yang harusnya amanah akan kata terpandang benar-benar bisa diamalkan) hanya anak-anak yang memiliki nilai rata-rata 8 keatas, berarti pada awalnya justru sekolah yang sebenaranya mengenalkan kita akan diskriminasi bukan ? “

“jika sekolah hanya mampu dicapai oleh 2 kalangan, yaitu kalangan orang pintar dan kalangan orang berduit, maka untuk apa makna pendidikan yang dalam kata utamanya bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa ?” hal ini seakan sangat tidak memanusiakan manusia.

Padahal yang kita tau, kita hanya ingin belajar di tempat terbaik untuk meningkatkan kompetensi, bukan dengan mencari pekerjaan yang memang dituntut memiliki kompetensi. Miris bukan

Selain itu, sekolah sepertinya mulai melupakan arti dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan dalam Bab 1 Pasal Ayat 1,bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaraan agar pesdik secara aktif mengembangkan potensinya untuk mengembangkan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dari rangkuman diatas, seharusnya sekolah hanya sekedar fasilitas untuk mewujudkan proses pembelajaran agar masing-masing pesdik secara aktif mengembangkan potensi yang dimilikinya, bukan menerapkan standar-standar tertentu layaknya perusahaan.

Maka dari awal jika ingin mendirikan sekolah jangan samakan dengan mendirikan perusahaan. Karena mendirikan sekolah berarti lebih dekat dengan mengabdi kemanusiaan yang posisinya terletak pada kesunyian.

Oh Tuhan, kalimat ini mengingatkanku kembali kepada salah satu Dosen matkul kimia dan praktikumku yang berbicara tentang “ Jika kamu mencari kekayaan, percayalah jangan cari di pendidikan. Karena tujuan pendidikan bukan kesana, namun jika kamu mencari kebahagiaan yang lebih, carilah di pendidikan. Kau akan bahagia.”

---------------

Pendidikan Bukan Komoditi

 

Sistem pendidikan sering dijadikan ajang pencarian keuntungan atau “pengkapitalisasian pendidikan” hal ini bisa kita lihat dari banyaknya kasus tentang anak putus sekolah atas alasan biaya pendidikan, padahal dalam UUD 45 Pasal 31 menyatakan bahwa mendapatkan pendidikan adalah hak bagi setiap warga negara. Maka sepertinya wajar saja tentang kapitalisme pendidikan ini tak pernah basi untuk didiskusikan di ruang publik.

Dunia pendidikan yang semestinya dibangun berdasar nilai-nilai kemanusiaan, kebijaksanaan kini kerap dimuati oleh nilai nilai komersial. Hal ini dapat dijadikan sebuah refleksi dari keberpihakan dunia pendidikan pada kekuasaan kapital. Sehingga jika pendidikan menjadi bagian kapitalisme , maka berbagai paaradigma, metode tekhnk yang dijlankan akan berkesinambungan dengan hegemoni kapitalisme.

Dengan demikian, pengetahuan tidak hanya menjadi sebuah alat untuk mencari keuntungan akan tetapi juga terus diproduksi sebagai komoditi yang diperdagangkan dalam rangka memperoleh untung yang sebesar-besarnya.

Pendidikan merupakan lahan bisnis subur yang tidak akan pernah mati. Sekalipun dalam keadaan perang, pendidikan dan kesehatan takan pernah mati. Yaa Allah related banget sama keadaan kita sekarang yang sedang beredar tentang konspirasi korona dan kawananya.

Orang takut bodoh, karena bodoh berakibat miskin. Begitu juga orang tidak ingin sakit, apabila sakit mereka akan membela dei menyembuhkan penyakitnya. Pragmatisnya tidak ada yang ingin miskin.

Pendidikan menjadi lahan basah karena sifatnya padat modal , mahal dan jangka panjang. Bisnis pendidikan adalah bisnis kepercayaan, ibarat kata adalah tentang citra yang melekat. Mungkin teman-teman sudah familiar dengan ungkapan eh sekolah ini mah tidak pernah membuka pendaftaran, malah seringnya menutup pendaftaraan. Padahal harga uang pangkal untuk masuknya saja sama besarnya dengan besaran biaya semesteran di perguruan tinggi.

Bisnis bisa berkedok dalam sekolah yang berlabel bilingual, full english, lebel IT, lebel plus, kurikulum cambridge, dan lain-lain membuat sekolah seakan-akan seperti profit oriented, namun mirisnya sekolah ini hanya untuk kalangan kaum borjouis ( berduit ). Ya, kualitas sebanding dengan harga, benar adanya.

Namun bukankah disini berarti pendidikan membuat kastanisasi kehidupan, pemenuhan otak, dan pengeringan hati, disini kita patut ditanyakan “ apakah pendidikan telah kehilangan ruhnya ? “ Bagaimana anak akan bertoleransi, jika yang ada di lingkungan mereka semuanya hegemoni ( sama rata ), mereka akan sulit hidup tolong menolong karena realitanya mereka sama sama dapat mencukupi kebutuhan dan keinginannya masing-masing.

Hm, namun siapa perduli ? liberalisasi pendidikan. Siapa saja boleh mendirikan sekolah dan mengadakan pendidikan. Bahkan pendidikan luar negeripun dengan mudah masuk ke sini. Undang undang BHMN bagi Perguruan tinggi yang dibatalkan oleh MK menunjukan wajah pendidikan kita sebenarnya, liberal.

Ini adalah titik dan momen yang pas untuk menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis sebagai provit oriented, Negara diam-diam dengan sengaja tak mengunci pintunya agar maling-maling dapat masuk ke wilayahnya untuk mencuri, sebagian orang memutuskan untuk tidak mengumpat akan kegelapan malam dan lebih baik menyalakan lilin.

Pengetahuan dalam dunia pendidikan dijadikan komoditi ini berkembang sejak adanya GATT yang mementigkan kepentingan pasar. Mekanisme dan metode  beserta proses globalisasi ini diperjuangkan melalui aktor utama globalisasi, yakni bank dunia/ IMF melalui kesepakatan WTO yang berlandaskan liberalisme. Paham ini yang mencetuskan adanya pasar bebas yang secara tidak langsung hal itu akan berpengaruh kepada visi pendidikan tersendiri nantinya.

 


Komentar