[Part 4] Sekolah Biasa Saja

Sekolah Tidak Mencetak Batu Bata

Dalam spanduk yang beredar, kita tak akan asing dengan slogan sekolah “ kami siap mencetak siswa yang siap kerja. “, “ Cetak siswa berprestasi yang berakhlaku karimah “ dll, suatu janji yang terlihat manis padahal jika kita telusuri lebih dalam, arti mencetak yakni cara membuat sesuatu dengan acuan antara lain, menuang logam, mencetak uang perak, mencetak kue, mencetak batu bata. Ada sinonim dari kata mencetak yaitu mengeruk keuntungan.

Apa pengertian mencetak dalam bidang pendidikan dan mencetak batu bata adalah sama ? dan apakah anak anak, siswa, dan manusia adalah objek benda mati yang bisa dibentuk dan dicetak semau sendiri.

Anak, siswa , manusia adalah  makhluk hidup yang secara kodrati akan tumbuh dan berkembang, yang mereka butuhkan adalah tempat dan perhatian yang khusus untuk bisa membuat mereka berkembang.

Pada dasarnya, siswa merupakan pribadi yang unik, juga secara alamiah sejak kodratnya , anak-anak merupakan siswa yang aktif, anak-anak dan nalurinya  sesungguhnya selalu menuju pada proses perkembangan , ingin berjalan ke depan, ingin tahu dan selalu menuju ke arah keberhasilan, maka biarkanlah anak-anak mekar dan berkembang dengan sendirinya.

Anak bukanlah alat untuk orang lain, yakni menjadi benda yang siap pakai sehingga perlu dijejali banyak hal, materi, yang sebenarnya jauh dari kebutuhan si anak.

Yang anak perlukan adalah situasi dan ruang agar siswa mampu mengolah kesulitan , mampu menghilangkan rasa minder, ketakutan, depresi, dan kondisi psikoligis lainnya.

--------------

Sekolah Bukan Kompetisi Unggul-unggulan.

 

Kita percaya bukan, atas keunikan masing-masing anak yang tentunya tidak bisa diseragamkan dan dinilai dari satu pandang.

Kenapa ? ibarat kata kita sama-sama berkompetisi dan berlomba untuk mendapat peringkat 1, padahal latar belakang kita beda, modal kita tak sama, asupan gizi yang kita makan tak sama, fasilitaspun berbeda. Ya hal ini harusnya bukan menjadi alasan dan hambatan unyuk kita tetap berjuang mendapatkan trbaik, tapi bukan berarti pandangan dan penilaian yang dilontarkan ke kita sama juga.

Saat ini di sekolah ada keyakinan bahwa “prestasi” adalah citra baik dari sekolah, terutama bagi sekolah swasta yang memperjuangkan sekolah independen.

Prestasi merupakan syarat mutlak untuk dikenal di masyarakat. Pihak sekolah sangat sadar tentang pentingnya mengembangkan minat dan bakat yang dimiliki siswa-siswa unggulannya. Lantas pertanyaan kita, apakah mungkin sekolah-sekolah sederhana bahkan memprihatinkan yang ada di desa mampu mencetak siswa yang berprestasi tinggi ?apa yang harus guru lakukan untuk membantu agar siswa-siswanya bisa berprestasi tinggi ?

Inilah potret bagian dari dunia pendidikan kita, dimana kita dan anak-anak kita seakan tlah mengalami salah pada kepengasuhan.

Sejak kecil, anak didik untuk menjadi manusia yang berprestasi dan sukses. Berprestasi dan sukses disini berarti anak-anak mendapatkan hal yang berada pada eksternal diri yang telah kita coba sisipi ke diri mereka. Sejak kecil, tanpa disadari kita mengajarkan anak anak tentang mencari pengakuan, kebahagiaan dan kepenuhan yang berasal dari luar dirinya.

Dengan berprestasi dan sukses inilah anak anak akan merasa bangga dan merasa perlu terus ambis untuk menjadi nomor pertama. Sekilas teringat sedikit pelajaran yang sering dosen waliku katakan tentang sebenarnya yang membuat anak mencotek adalh ekspetasi orang tua anak tersebut. Orang tua selalu menerapkan disiplin pada IQ, jika tidak, tak sering orang tua seakan membandingkan anak dengan orang lain yang lebih pintar darinya.

Jadi alhasil yang tertanam pada otak anak adalah “bagaimanapun caranya aku harus mendapatkan ilai 100, aku tak perduli hal itu aku dapatkan dari mencontek atau bekerja sendiri, yang penting orang tuaku bangga atas hasil tersebut.”

Namun ketika kita gagal mendapatkan prestasi, kita akan otomatis sedih dan menderita. Pada saat anak gagal mendaptkan tujuan yang berasal dari luar dirinya, ia akan merasa rendah – bodoh, bahkan putus asa.

Untuk menghilangkan rasa tersebut, anak anak akan mencari cara agar dirinya tak seperti itu, istilahnya hiburan. Dan biasanya kita akan mengajaknya ke mall, refreshing ke suatu tempat, ataupun memberikan barang agar anak tak bersedih lagi. Alhasil hal tersebut akan membentuk mental manja pada sang anak.

Sibuk berkompetisi kadang membuat kita lupa dan mengabaikan apa yang sungguh penting. Sibuk berlomba memecah perhatian untuk apa yang menurut kita itu berharga, hal inilah yang meski kita pikirkan bersama. Dengan berlomba, orang akan susah diajak bekerja sama, dia harus lebih baik dari siapapun, dan dengan berlomba kita akan mengungkung pikiran kita sendiri.

Dalam suatu kompetisi, yang kita cari nyatanya bukan solusi musyawarah mufakat. Melainkan tentang menang dan kalah. Memang nasihat luhur adalah berlombah lombalah dalam kebaikan, dan berlombalah  untuk semangat mengupgrade diri. Namun disisi lain, ada salah kaprah yang justeru hal ini akan menimbulkan egosentrik.

Kita tidak akan mudah berdialog engan orang lai, kita akan sibuk mencari kelemahan orang lain dan menambah kelebihn diri kita. Kita tidak diajarkan mencari titik temu. Kita membunuh keterlinatan bersama. Disini beberapa kali anak-anak yang kiranya dianggap paling pintar / kompeten maka ia akan diikutkan ke berbagai macam lomba, setelah ia kalah semangat mereka padam, bahkan enggan untuk mengikuti lomba-lomba lain lagi.

Oleh karena itu jika kita tarik ke masalah sosial, maka banyak masalah sosial yang tidak selesai hanya karena kita sibuk berlomba , energi kita habis, kita sibuk masing-masing dan lupa akan cita-cita bersama.

Visi misi terabaikan, sebab bagaimanapun juga kita harus memenangkan lomba yang bersifat semu tersebut. Mungkin ini salah satu akibat kenapa bangsa kita mudah terpecah belah, karena kita sudah tidak kembli ke musyawarah mufakat melainkan pendapat pribadi selalu dituhankan.

Lalu sebenarnya jika berkompetisi itu dikritik, apa solusi yang tepat. Yang tepat adalah dengan cara bekolaborasi.

Dari awal kita paham bahwa satu manusia dengan manusia lainnya memiliki keunikan tersendiri, masing masing memiliki kurang dan lebih. Banyak negara maju yang menyelesaikan masalah dengan cara menyatukan berbagai macam bidang ilmu lalu dibahas dan diselesaikan bersama-sama.

Ibarat kalau buat anak Ipa adalah ilmu STEM. Kita ambil contoh penangan covid ini. Kita tidak hanya bisa befokus kepada bidang kesehatan saja, walau covid menyerang langsung ke kesehatan. Namun nyatanya yang lumpuh bukan hanya kesehatan, melainkan hampir semua sektor yang ada.

Kita tidak bisa lantas egois memfokuskan ke bidang ekonomi saja, walau kenyataanya disini ekonomi kita carut marut, rupiah sempat turun, hutang semakin melintir dll. tapi kita harus meninjau permasalahan covid ini dari semua bidang kehidupan. Dengan adanya kolaborasi, kita akan sama-sama melawan dan berjuang bersama. Tak ada yang meraa diuntungkan sendirian, dan kalaupun nanti patah takan ada rasa patah sendirian.

Ya walau memang  jika kita bicara tentang hidup, naluri manusiawi kita butuh pengakuan minimal dianggap atas keberadaan. Namun jika kita telah menemukan apa sih tujuan sebenarnya kita berada disini, kita taka akan perduli tentang pegakuan tersebut.Kita hanya perlu melihat ke dalam hati, rasakan rasa damai itu, bersyukur bahwa bahagia berasal dari diri sendiri, bukan orang lain.

Dan jika kita kenbali berbicara tentang sekolah yang seharusnya memiliki peran integral menuju manusia yang seutuhnya. Maka watak dan karakterlah yang sebenarnya hasil primer. Disini bukan berarti pula tidak memntingkan kecerdasan, kepandaiana, dan keterampilan. Namun kita bisa usut dari permasalahan korupsi saja. Mereka yang korupsi adalah orang orang yang pintar, bahkan cerdas namun sayangnya licik. Mereka kaya akan pengetahuan namun nyatanya mereka miskin karakter  mulia.


Komentar