Sekolah Tidak Mencetak Batu Bata
Dalam spanduk yang beredar, kita tak akan
asing dengan slogan sekolah “ kami siap mencetak siswa yang siap kerja. “, “
Cetak siswa berprestasi yang berakhlaku karimah “ dll, suatu janji yang terlihat
manis padahal jika kita telusuri lebih dalam, arti mencetak yakni cara membuat
sesuatu dengan acuan antara lain, menuang logam, mencetak uang perak, mencetak
kue, mencetak batu bata. Ada sinonim dari kata mencetak yaitu mengeruk
keuntungan.
Apa pengertian mencetak dalam bidang
pendidikan dan mencetak batu bata adalah sama ? dan apakah anak anak, siswa,
dan manusia adalah objek benda mati yang bisa dibentuk dan dicetak semau
sendiri.
Anak, siswa , manusia adalah makhluk hidup yang secara kodrati akan tumbuh
dan berkembang, yang mereka butuhkan adalah tempat dan perhatian yang khusus
untuk bisa membuat mereka berkembang.
Pada dasarnya, siswa merupakan pribadi yang
unik, juga secara alamiah sejak kodratnya , anak-anak merupakan siswa yang
aktif, anak-anak dan nalurinya sesungguhnya
selalu menuju pada proses perkembangan , ingin berjalan ke depan, ingin tahu
dan selalu menuju ke arah keberhasilan, maka biarkanlah anak-anak mekar dan
berkembang dengan sendirinya.
Anak bukanlah alat untuk orang lain, yakni
menjadi benda yang siap pakai sehingga perlu dijejali banyak hal, materi, yang
sebenarnya jauh dari kebutuhan si anak.
Yang anak perlukan adalah situasi dan ruang
agar siswa mampu mengolah kesulitan , mampu menghilangkan rasa minder,
ketakutan, depresi, dan kondisi psikoligis lainnya.
--------------
Sekolah
Bukan Kompetisi Unggul-unggulan.
Kita percaya bukan, atas keunikan
masing-masing anak yang tentunya tidak bisa diseragamkan dan dinilai dari satu
pandang.
Kenapa ? ibarat kata kita sama-sama berkompetisi
dan berlomba untuk mendapat peringkat 1, padahal latar belakang kita beda,
modal kita tak sama, asupan gizi yang kita makan tak sama, fasilitaspun
berbeda. Ya hal ini harusnya bukan menjadi alasan dan hambatan unyuk kita tetap
berjuang mendapatkan trbaik, tapi bukan berarti pandangan dan penilaian yang
dilontarkan ke kita sama juga.
Saat ini di sekolah ada keyakinan bahwa
“prestasi” adalah citra baik dari sekolah, terutama bagi sekolah swasta yang
memperjuangkan sekolah independen.
Prestasi merupakan syarat mutlak untuk dikenal
di masyarakat. Pihak sekolah sangat sadar tentang pentingnya mengembangkan
minat dan bakat yang dimiliki siswa-siswa unggulannya. Lantas pertanyaan kita,
apakah mungkin sekolah-sekolah sederhana bahkan memprihatinkan yang ada di desa
mampu mencetak siswa yang berprestasi tinggi ?apa yang harus guru lakukan untuk
membantu agar siswa-siswanya bisa berprestasi tinggi ?
Inilah potret bagian dari dunia pendidikan
kita, dimana kita dan anak-anak kita seakan tlah mengalami salah pada
kepengasuhan.
Sejak kecil, anak didik untuk menjadi manusia
yang berprestasi dan sukses. Berprestasi dan sukses disini berarti anak-anak
mendapatkan hal yang berada pada eksternal diri yang telah kita coba sisipi ke
diri mereka. Sejak kecil, tanpa disadari kita mengajarkan anak anak tentang
mencari pengakuan, kebahagiaan dan kepenuhan yang berasal dari luar dirinya.
Dengan berprestasi dan sukses inilah anak anak
akan merasa bangga dan merasa perlu terus ambis untuk menjadi nomor pertama.
Sekilas teringat sedikit pelajaran yang sering dosen waliku katakan tentang sebenarnya
yang membuat anak mencotek adalh ekspetasi orang tua anak tersebut. Orang tua
selalu menerapkan disiplin pada IQ, jika tidak, tak sering orang tua seakan
membandingkan anak dengan orang lain yang lebih pintar darinya.
Jadi alhasil yang tertanam pada otak anak
adalah “bagaimanapun caranya aku harus mendapatkan ilai 100, aku tak perduli
hal itu aku dapatkan dari mencontek atau bekerja sendiri, yang penting orang
tuaku bangga atas hasil tersebut.”
Namun ketika kita gagal mendapatkan prestasi,
kita akan otomatis sedih dan menderita. Pada saat anak gagal mendaptkan tujuan
yang berasal dari luar dirinya, ia akan merasa rendah – bodoh, bahkan putus
asa.
Untuk menghilangkan rasa tersebut, anak anak
akan mencari cara agar dirinya tak seperti itu, istilahnya hiburan. Dan
biasanya kita akan mengajaknya ke mall, refreshing ke suatu tempat, ataupun
memberikan barang agar anak tak bersedih lagi. Alhasil hal tersebut akan membentuk
mental manja pada sang anak.
Sibuk berkompetisi kadang membuat kita lupa
dan mengabaikan apa yang sungguh penting. Sibuk berlomba memecah perhatian
untuk apa yang menurut kita itu berharga, hal inilah yang meski kita pikirkan
bersama. Dengan berlomba, orang akan susah diajak bekerja sama, dia harus lebih
baik dari siapapun, dan dengan berlomba kita akan mengungkung pikiran kita
sendiri.
Dalam suatu kompetisi, yang kita cari nyatanya
bukan solusi musyawarah mufakat. Melainkan tentang menang dan kalah. Memang nasihat
luhur adalah berlombah lombalah dalam kebaikan, dan berlombalah untuk semangat mengupgrade diri. Namun disisi
lain, ada salah kaprah yang justeru hal ini akan menimbulkan egosentrik.
Kita tidak akan mudah berdialog engan orang
lai, kita akan sibuk mencari kelemahan orang lain dan menambah kelebihn diri
kita. Kita tidak diajarkan mencari titik temu. Kita membunuh keterlinatan
bersama. Disini beberapa kali anak-anak yang kiranya dianggap paling pintar /
kompeten maka ia akan diikutkan ke berbagai macam lomba, setelah ia kalah
semangat mereka padam, bahkan enggan untuk mengikuti lomba-lomba lain lagi.
Oleh karena itu jika kita tarik ke masalah
sosial, maka banyak masalah sosial yang tidak selesai hanya karena kita sibuk
berlomba , energi kita habis, kita sibuk masing-masing dan lupa akan cita-cita
bersama.
Visi misi terabaikan, sebab bagaimanapun juga
kita harus memenangkan lomba yang bersifat semu tersebut. Mungkin ini salah
satu akibat kenapa bangsa kita mudah terpecah belah, karena kita sudah tidak kembli
ke musyawarah mufakat melainkan pendapat pribadi selalu dituhankan.
Lalu sebenarnya jika berkompetisi itu
dikritik, apa solusi yang tepat. Yang tepat adalah dengan cara bekolaborasi.
Dari awal kita paham bahwa satu manusia dengan
manusia lainnya memiliki keunikan tersendiri, masing masing memiliki kurang dan
lebih. Banyak negara maju yang menyelesaikan masalah dengan cara menyatukan
berbagai macam bidang ilmu lalu dibahas dan diselesaikan bersama-sama.
Ibarat kalau buat anak Ipa adalah ilmu STEM.
Kita ambil contoh penangan covid ini. Kita tidak hanya bisa befokus kepada
bidang kesehatan saja, walau covid menyerang langsung ke kesehatan. Namun
nyatanya yang lumpuh bukan hanya kesehatan, melainkan hampir semua sektor yang
ada.
Kita tidak bisa lantas egois memfokuskan ke
bidang ekonomi saja, walau kenyataanya disini ekonomi kita carut marut, rupiah
sempat turun, hutang semakin melintir dll. tapi kita harus meninjau
permasalahan covid ini dari semua bidang kehidupan. Dengan adanya kolaborasi,
kita akan sama-sama melawan dan berjuang bersama. Tak ada yang meraa
diuntungkan sendirian, dan kalaupun nanti patah takan ada rasa patah sendirian.
Ya walau memang jika kita bicara tentang hidup, naluri
manusiawi kita butuh pengakuan minimal dianggap atas keberadaan. Namun jika
kita telah menemukan apa sih tujuan sebenarnya kita berada disini, kita taka
akan perduli tentang pegakuan tersebut.Kita hanya perlu melihat ke dalam hati,
rasakan rasa damai itu, bersyukur bahwa bahagia berasal dari diri sendiri,
bukan orang lain.
Dan jika kita kenbali berbicara tentang
sekolah yang seharusnya memiliki peran integral menuju manusia yang seutuhnya.
Maka watak dan karakterlah yang sebenarnya hasil primer. Disini bukan berarti
pula tidak memntingkan kecerdasan, kepandaiana, dan keterampilan. Namun kita
bisa usut dari permasalahan korupsi saja. Mereka yang korupsi adalah orang
orang yang pintar, bahkan cerdas namun sayangnya licik. Mereka kaya akan
pengetahuan namun nyatanya mereka miskin karakter mulia.
Komentar
Posting Komentar