"Nah permasalahannya tuh kita ngga akan bisa stuck untuk hanya sampai kagum. Siga lamun urang ngobrol ngeunaan kepengin mah hal sakedik "tuang" parantos dilebetkeun dina daptar anggo ( Ibarat kalau kita bicara keinginan, hal sekecil "makan" juga itu termasuk ke list keinginan nic ) , masalahnya kita butuh prioritas target buat hidup kita, tujuannya kita disuggest harus punya mimpi kan biar kita punya perjuangan dan tantangan tersendiri terhadap satu hal kan nic ?” sahutnya.
“nuhun Vi kuring terang ie ( iya vi, aku tau ini ), tapi permasalahannnya aku ngerasa kurang suka aja kalau
misal kita sama sama ada rasa terus kita ngelakuin hubungan semacam pacaran
meski tanpa status. Bagiku kalau aku boleh jujur, hal-hal semacam itu
sebenarnya ngga berfaedah, bahkan tanpa pacaran-pun kita bisa tuh nongki
bareng, mendaki bareng misal, nyemangatin dan aktifitas lainnya. naon bedanya kitu ?" tanyaku
Melihat pandangan ini, Vio semakin penasaran tentang pandangan Denica kepada teman-teman dekatnya yang ia rasa mayoritas dari lingkungannya pacaran, bahkan ia ingat sepertinya Denica-pun pernah bercerita tentang mencomblangkan temannya dengan kaka kelasnya, “Eh tunggu bentar nic berarti pandanganmu ke temen-temenmu yang pacaran itu gimana ? ieu anu gumbira kantos ngabahas ( pernah sampai debat) ?” tanya Vio dengan antusias.
“abdi hente gaduh masalah ah ( aku ngga pernah masalahin ) , anggap saja itu hak mereka. Aku juga bukan orang yang suka
ikut campur kalau masalah prinsip hidup sih, karena sedekat apapun aku sama
orang aku, harus tetep bisa menghargai hal-hal semacam ini. Temen-temen dekatku
banyak yang pacaran dan mereka juga tau aku ngga tertarik dengan hal pacaran enya we biasa wae, kita jarang nyinggung-nyinggung hal ini. Kadang beberapa emang
ada yang sampai tanya alasan dan seakan memang mereka mencari jalan keluar agar
ngga pacaran untuk ngajak aku ngobrol lebih jauh kenapa harus ngga pacaran,
kadang berhasil , kadang ya hal semacam itu cuma bentuk pelampiasan sakit hati
mereka. Yaa aku ngga papa, kalau aku mah yang penting akunya engga hehe.” Ujar Denica.
"Nah iya aku setuju banget sama kamu kalau masalah ini nic, pinnya masih pikeun ngahargaan anu beda (pointnya tetep menghargai perbedaan yang ada) dan aku juga setuju dengan pertanyaanmu tentang kenapa harus pacaran jika justru kadang dengan melakukan hal semacam pacaran kita seakan merasa dibatasi , dikekang, dan seolah-olah dimiliki oleh si doi padahal mah kita juga ngga ada ikatan apa-apa kan Nic, aku setuju si, btw lanjutin dong ceritamu sama seseorang yang misterius itu, aku penasaran.” Lanjut tanyanya.
"Nah
itu permasalahannya sebenernya vi, aku sama dia selalu punya perbedaan pendapat
yang kadang kita sama-sama engga ada yang
mau kalah. Sekecil permasalahan pengucapan diksi kita punya pandangan
sendiri-sendiri dan ngga tau kenapa aku ngga bisa asal mengiyakan kalau sama
dia." Intonasinya semakin merendah seperti menahan sesuatu. Pandangan
Denica mengarah kearah luar jendela, ia sesekali tersenyum kecil namun dalam
pantulan kaca yang mulai berembun karena suhu sudah mulai merendah, Vio melihat
muka yang ia alihkan dari pandangannya terlihat sendu. Tiba tiba Vio merasa
aneh bukannya Denica adalah orang palig people pleaser yang pernah ia kenal " Padahal kamu orangnya kan people
pleaser banget ?" sanggahViolinna.
"Nah
itu, aku juga sering bertanya dan introspeksi diri apa berarti dengan aku yang
ngga bisa seplegmatis itu kalau sama dia berarti aku punya perlakuan khusus
atau mungkin itu terjadi hanya karena emang reflek aja karena aku geram sama
dia, abdi hente tiasa ngelakukeun ie ( aku gabisa ngebedain ini) vi." Tunduknya lagi .
"Kamu
gokil sih Nic punya cerita beginian, adrenalinnya dapet loh" puji Vio
mencoba menghibur Denica yang mulai terlihat sendu. "Haha, bagi aku yang ngerasain sekaligus
ngejalanin jujur aku bingung sendiri loh buat ngehadapinnya. Bahkan kadang aku
malah dominan merasa salah sekaligus
jahat udah buat dia kecewa vi." Jawabnya tambah menyendu
Vio rasa perasaan ini yang membuat diri Denica sedari tadi memilih diam dan memalingkan muka secara halus. Alih – alih tidak ingin menunjukan rasa sedihnya namun itu sangat terbaca jelas den, ucap vio dihati. "Naha eta anjeun dadak ngerasa kaliru ( kenapa? kok tiba tiba jadi merasa bersalah) ?” tanya Vio melanjutkan pembahasan yang ada
Denica hanya menarik panjang nafasnya dalam-dalam, lalu perlahan ia memulai membuka suara "Ada beberapa hal yang sampai saat ini sebenernya aku sesali ke aku sendiri, aku terlalu takut, banyak takutku. Salah satunya aku takut ngelukain dia suatu hari nanti atau dia yang bakal ngelukain aku, makanya aku berusaha biar dia sama aku ngga ada apapun mulai sekarang. Tapi aku tau aku ngga seharusnya sejahat ini sama dia, andai aku punya kesempatan untuk berbicara, ha;l anu paring kuring hoyong nyariosken naon anu lepat (hal yang paling aku ingin sampaikan adalah permintaan maaf.) ” Jawabnya parau
Mereka
berdua mulai merasakan bahwa vibes bagian ini sudah mulai sedikit berat.
Perlahan Vio mulai mencoba memahami alasan Denica yang selama ini ia tau ia
orang yang terbuka banget perihal apapun kecuali tentang masalah perasaan. Vio membaca sedikit ekspresi yang Denica tampakan.
Seolah ia sangat menyayangi namun ia memiliki kebimbangan yang besar.
"Terus sikapmu ke dia gimana ?” tanya Vio “Aku sebenernya ngga gimana² sih. iya seperlunya aja." jawabnya singkat "Tapi masih komunikasi kan ?" "Jarang, setiap komunikasi kita gapernah selaras, jantan kaulinan (jadinya ya gimana).” Ucap Denica tegar.
seolah tak ingin larut dalam pembahasan tentangnya, Denica kembali menanayakan kepada Vio tentang “kalau kamu sendiri, gimana tanggapan kamu tentang mereka² yg nyoba deketin kamu vi ?" "Yaa sebenernya ngga gimana² juga si, kita kan juga engga bisa ngelarang hak mereka untuk mencintai sesuatu, nah kebetulan objek yang ia cintai misalnya kita. Ya paling yang aku handle cuma diriku, walau secara pribadi aku kadang ngerasa risih tapi aku ngga akan nampakin itu ke mereka, selama semuanya wajar ya aku juga masih bisa biasa aja nic.” Jawabnya tersenyum
Seusai
jawaban itu, sepertinya mereka sama-sama sudah tidak terlalu tertarik untuk
membahas masalah perasaan satu sama lain.
Tanpa
disengaja Vio ingat kalau BEM Faknya satu minggu lagi ada Diskusi Online mengenai
Perempuan, maka ia mencoba mengajak Denica untuk ikut “Oiya nic, Minggu depan
BEM-ku ada diskusi online tentang perempuan baperan dan berperan , ikut yuk."
bujuknya. "Temanya menarik sih hehe, boleh nanti kabarin aja ya"
senyum Denica "Siaaap Nic" balas Vio.
Malam
mulai melarutkan dirinya, meski secara waktu menurut Denica saat itu masih terlalu gasik
untuk disebut malam. Ia melirik jarum di jam tangannya. "Jam 10 Vi, kamu
kalau mau tidur, tidur aja ya aku gampang nanti, aku mau baca ebook dulu Vi."
senyumnya “Emang kamu mau baca ebook apa ?” jawab Vio “Catatan seorang
Demonstran hehe" jawab Denica sembari tertawa kecil “Waaah anak aktifis
mah ngeri bacaannya ya, Soe hok gie-rls yaa hehe.” Mereka berdua tertawa lalu
tawa mereka perlahan memudar mengikuti suara alunan mesin lokomotif kereta yang
mulai mendominasi.
Tak
berapa lama dari percakapan itu, Vio mulai memejamkan matanya dan merileksan
tubuhnya untuk membawanya menikmati perjalanan yang tinggal 3 jam lagi dengan
tidur. Sedang Denica mulai mengecek hpnya ia iseng menyalakan data Internet
untuk mengecek pesan yang masuk.
Notifikasi
yang masuk ke hp-nya banyak sekali, hampir rata-rata dari temannya me-reply untuk menanyakan kepulangannya
yang sangat mendadak lalu ada pula beberapa pesan ibunya yang menanyakan keberadaanya
sekarang, hingga ia melihat ada satu pesan yang namanya tidak asing , ya nama
yang baru saja Denica bahas dengan Vio.
Satu
persatu pesan yang masuk saat itu ia balas meski ia tau balasannya udah mulai
membasi karena saking lamanya ia balas. Hingga akhirnya ia tertatih untuk mengklik
pesan dari sosok yang bisa dibilang cukup mneghantuinya. Awalnya ia ragu untuk
membaca atau membalas pesan tersebut namun semakin ia membiarkan ia semakin
kepikiran. Ia cek isi pesannya, ternyata pesan itu sesingkat "pulang
?"
Ya
pertanyaan-pertanyaan sesimple dan sesederhana itu cukup membuatnya terus
berfikir apakah perlu jawaban atau tidak, Hingga akhirnya ia hanya membalas
"iya ka." Jujur, saat itu Denica tak
ingin balasannya mengundang balasan lain. Denica harap ia sudah tidur atau
masih sibuk dengan urusannya tapi nyatanya centang biru itu muncul di wa-nya.
Tak lama kemudian ada pesan masuk lagi darinya "urusan kuliahnya emang
udah selesai semua dek?" singkat lagi ia hanya berani mengetik "sudah"
.
Bagi
Denica, dia sepertinya orang yang sebenarnya paham dan tahu siapa Denica. Saat
itu Denica rasa iapun mengetahui bahwa Denica
memang sedang tak ingin
berkomunikasi apapun dengannya. Tak lama
kemudian "yaudah hati² dijalan ya. Jangan begadang terus, pesan ini gausah
dibales lagi de." Membaca pesan tadi membuat Denica merasa mulai sedikit lega,
lagi lagi Denica mulai merasa bahwa ia mengetahui lebih dari apa yang ia
beritahu.
Disamping
Denica bukan tipe orang yang memang asik ketika berkomunikasi lewat telp,
Denica memang sering kali membatasi komunikasi dengan teman laki-lakinya
termasuk dia. Membaca pesannya yang terakhir dalam hati Denica "makasih
udah ngertiin ka, maaf kalau aku selalu nyakitin."
Setelah membaca pesan itu Denica kembali mematikan data internet lalu melanjutkan niatanya untuk membaca ebook Soe Hok Gie yang berjudul Catatan Sang Demonstran tadi. Ia terkesima akan bagian demi bagian yang disajikan untuk pembacanya, halunya saat itu ia bergumam “andai kelak aku menemukan orang segigih Soe Hok Gie yang hobbinya mendaki dan menyuarakan suara rakyat, Engga papa kan aku halu sebentar layaknya teman temanku yang halu berharap mendapatkan pasangan seperti Kim Soo Hyun yang aku sendiri terkadang ikut menertawakan mimpi lucunya.
Aku mulai
menertawakan diriku sendiri lalu aku mulai mengasihaninya, mencoba
mengistirahatkan tubuh lelahku dengan beranjak ke alam mimpi lainnya. Ya aku
mulai mencoba tidur menyusul Violina, barangkali kita bisa berdiskusi perihal
Emansipasi atau apapun yang lain di alam mimpi hehe.
Komentar
Posting Komentar