[ Part III ] Maaf, Aku Orang ( Kiri ) Dek


 

"Nah  permasalahannya tuh kita ngga akan bisa stuck untuk hanya sampai kagum. Siga lamun urang ngobrol ngeunaan kepengin mah hal sakedik "tuang" parantos dilebetkeun dina daptar anggo ( Ibarat kalau kita bicara keinginan, hal sekecil "makan" juga itu termasuk ke list keinginan nic ) , masalahnya kita butuh prioritas target buat hidup kita, tujuannya kita disuggest harus punya mimpi kan biar kita punya perjuangan dan tantangan tersendiri terhadap satu hal kan nic ?” sahutnya.

“nuhun Vi kuring terang ie ( iya vi, aku tau ini ), tapi permasalahannnya aku ngerasa kurang suka aja kalau misal kita sama sama ada rasa terus kita  ngelakuin hubungan semacam pacaran meski tanpa status. Bagiku kalau aku boleh jujur, hal-hal semacam itu sebenarnya ngga berfaedah, bahkan tanpa pacaran-pun kita bisa tuh nongki bareng, mendaki bareng misal, nyemangatin dan aktifitas lainnya. naon bedanya kitu ?" tanyaku

Melihat pandangan ini, Vio semakin penasaran tentang pandangan Denica kepada teman-teman dekatnya yang ia rasa mayoritas dari lingkungannya  pacaran, bahkan ia ingat sepertinya  Denica-pun pernah bercerita tentang mencomblangkan temannya dengan kaka kelasnya, “Eh tunggu bentar nic berarti pandanganmu ke temen-temenmu yang pacaran itu gimana ? ieu anu gumbira kantos ngabahas ( pernah sampai debat) ?” tanya Vio dengan antusias.

abdi hente gaduh masalah ah ( aku ngga pernah masalahin ) , anggap saja itu hak mereka. Aku juga bukan orang yang suka ikut campur kalau masalah prinsip hidup sih, karena sedekat apapun aku sama orang aku, harus tetep bisa menghargai hal-hal semacam ini. Temen-temen dekatku banyak yang pacaran dan mereka juga tau aku ngga tertarik dengan hal pacaran enya we biasa wae, kita jarang nyinggung-nyinggung hal ini. Kadang beberapa emang ada yang sampai tanya alasan dan seakan memang mereka mencari jalan keluar agar ngga pacaran untuk ngajak aku ngobrol lebih jauh kenapa harus ngga pacaran, kadang berhasil , kadang ya hal semacam itu cuma bentuk pelampiasan sakit hati mereka. Yaa aku ngga papa, kalau aku mah yang penting akunya engga hehe.” Ujar Denica.

"Nah iya aku setuju banget sama kamu kalau masalah ini nic, pinnya masih pikeun ngahargaan anu beda (pointnya tetep menghargai perbedaan yang ada) dan aku juga setuju dengan pertanyaanmu tentang kenapa harus pacaran jika justru kadang dengan melakukan hal semacam pacaran kita seakan merasa dibatasi , dikekang, dan seolah-olah dimiliki oleh si doi padahal mah kita juga ngga ada ikatan apa-apa kan Nic, aku setuju si, btw lanjutin dong ceritamu sama seseorang yang misterius itu, aku penasaran.” Lanjut tanyanya.

"Nah itu permasalahannya sebenernya vi, aku sama dia selalu punya perbedaan pendapat yang kadang kita sama-sama engga ada yang  mau kalah. Sekecil permasalahan pengucapan diksi kita punya pandangan sendiri-sendiri dan ngga tau kenapa aku ngga bisa asal mengiyakan kalau sama dia." Intonasinya semakin merendah seperti menahan sesuatu. Pandangan Denica mengarah kearah luar jendela, ia sesekali tersenyum kecil namun dalam pantulan kaca yang mulai berembun karena suhu sudah mulai merendah, Vio melihat muka yang ia alihkan dari pandangannya terlihat sendu. Tiba tiba Vio merasa aneh bukannya Denica adalah orang palig people pleaser yang pernah ia kenal  " Padahal kamu orangnya kan people pleaser banget ?" sanggahViolinna.

"Nah itu, aku juga sering bertanya dan introspeksi diri apa berarti dengan aku yang ngga bisa seplegmatis itu kalau sama dia berarti aku punya perlakuan khusus atau mungkin itu terjadi hanya karena emang reflek aja karena aku geram sama dia, abdi hente tiasa ngelakukeun ie ( aku gabisa ngebedain ini) vi." Tunduknya lagi .

"Kamu gokil sih Nic punya cerita beginian, adrenalinnya dapet loh" puji Vio mencoba menghibur Denica yang mulai terlihat sendu.  "Haha, bagi aku yang ngerasain sekaligus ngejalanin jujur aku bingung sendiri loh buat ngehadapinnya. Bahkan kadang aku malah dominan  merasa salah sekaligus jahat udah buat dia kecewa vi." Jawabnya tambah menyendu

Vio rasa perasaan ini yang membuat diri Denica sedari tadi memilih diam dan memalingkan muka secara halus. Alih – alih tidak ingin menunjukan rasa sedihnya namun itu sangat terbaca jelas den, ucap vio dihati.  "Naha eta anjeun  dadak ngerasa kaliru ( kenapa? kok tiba tiba jadi merasa bersalah) ?” tanya Vio melanjutkan pembahasan yang ada

Denica hanya menarik panjang nafasnya dalam-dalam, lalu perlahan ia memulai membuka suara "Ada beberapa hal yang sampai saat ini sebenernya aku sesali ke aku sendiri, aku terlalu takut, banyak takutku.  Salah satunya aku takut ngelukain dia suatu hari nanti atau dia yang bakal ngelukain aku, makanya aku berusaha biar dia sama aku ngga ada apapun mulai sekarang. Tapi aku tau aku ngga seharusnya sejahat ini sama dia, andai aku punya kesempatan untuk berbicara, ha;l anu paring kuring hoyong nyariosken naon anu lepat (hal yang paling aku ingin sampaikan adalah permintaan maaf.) ” Jawabnya parau

Mereka berdua mulai merasakan bahwa vibes bagian ini sudah mulai sedikit berat. Perlahan Vio mulai mencoba memahami alasan Denica yang selama ini ia tau ia orang yang terbuka banget perihal apapun kecuali tentang masalah perasaan. Vio membaca sedikit ekspresi yang Denica tampakan. Seolah ia sangat menyayangi namun ia memiliki kebimbangan yang besar.

"Terus sikapmu ke dia gimana ?” tanya Vio “Aku sebenernya ngga gimana² sih. iya seperlunya aja." jawabnya singkat  "Tapi masih komunikasi kan ?" "Jarang, setiap komunikasi kita gapernah selaras, jantan kaulinan (jadinya ya gimana).” Ucap Denica tegar. 

seolah tak ingin larut dalam pembahasan tentangnya, Denica kembali menanayakan  kepada Vio tentang “kalau kamu sendiri, gimana tanggapan kamu tentang mereka² yg nyoba deketin kamu vi ?" "Yaa sebenernya ngga gimana² juga si, kita kan juga engga bisa ngelarang hak mereka untuk mencintai sesuatu, nah kebetulan objek yang ia cintai misalnya kita. Ya paling yang aku handle cuma diriku, walau secara pribadi aku kadang ngerasa risih tapi aku ngga akan nampakin itu ke mereka, selama semuanya wajar ya aku juga masih bisa biasa aja nic.” Jawabnya tersenyum

Seusai jawaban itu, sepertinya mereka sama-sama sudah tidak terlalu tertarik untuk membahas masalah perasaan satu sama lain.

Tanpa disengaja Vio ingat kalau BEM Faknya satu minggu lagi ada Diskusi Online mengenai Perempuan, maka ia mencoba mengajak Denica untuk ikut “Oiya nic, Minggu depan BEM-ku ada diskusi online tentang perempuan baperan dan berperan , ikut yuk." bujuknya. "Temanya menarik sih hehe, boleh nanti kabarin aja ya" senyum Denica "Siaaap Nic" balas Vio.


Malam mulai melarutkan dirinya, meski secara waktu menurut Denica saat itu masih terlalu gasik untuk disebut malam. Ia melirik jarum di jam tangannya. "Jam 10 Vi, kamu kalau mau tidur, tidur aja ya aku gampang nanti, aku mau baca ebook dulu Vi." senyumnya “Emang kamu mau baca ebook apa ?” jawab Vio “Catatan seorang Demonstran hehe" jawab Denica sembari tertawa kecil “Waaah anak aktifis mah ngeri bacaannya ya, Soe hok gie-rls yaa hehe.” Mereka berdua tertawa lalu tawa mereka perlahan memudar mengikuti suara alunan mesin lokomotif kereta yang mulai mendominasi.

Tak berapa lama dari percakapan itu, Vio mulai memejamkan matanya dan merileksan tubuhnya untuk membawanya menikmati perjalanan yang tinggal 3 jam lagi dengan tidur. Sedang Denica mulai mengecek hpnya ia iseng menyalakan data Internet untuk mengecek pesan yang masuk.

Notifikasi yang masuk ke hp-nya banyak sekali, hampir rata-rata dari temannya me-reply untuk menanyakan kepulangannya yang sangat mendadak lalu ada pula beberapa pesan ibunya yang menanyakan keberadaanya sekarang, hingga ia melihat ada satu pesan yang namanya tidak asing , ya nama yang baru saja Denica bahas dengan Vio.

Satu persatu pesan yang masuk saat itu ia balas meski ia tau balasannya udah mulai membasi karena saking lamanya ia balas. Hingga akhirnya ia tertatih untuk mengklik pesan dari sosok yang bisa dibilang cukup mneghantuinya. Awalnya ia ragu untuk membaca atau membalas pesan tersebut namun semakin ia membiarkan ia semakin kepikiran. Ia cek isi pesannya, ternyata pesan itu sesingkat "pulang ?"

Ya pertanyaan-pertanyaan sesimple dan sesederhana itu cukup membuatnya terus berfikir apakah perlu jawaban atau tidak, Hingga akhirnya ia hanya membalas "iya ka."  Jujur, saat itu Denica tak ingin balasannya mengundang balasan lain. Denica harap ia sudah tidur atau masih sibuk dengan urusannya tapi nyatanya centang biru itu muncul di wa-nya. Tak lama kemudian ada pesan masuk lagi darinya "urusan kuliahnya emang udah selesai semua dek?" singkat lagi ia hanya berani mengetik "sudah" .

Bagi Denica, dia sepertinya orang yang sebenarnya paham dan tahu siapa Denica. Saat itu Denica rasa iapun mengetahui bahwa Denica  memang sedang  tak ingin berkomunikasi  apapun dengannya. Tak lama kemudian "yaudah hati² dijalan ya. Jangan begadang terus, pesan ini gausah dibales lagi de." Membaca pesan tadi membuat Denica merasa mulai sedikit lega, lagi lagi Denica mulai merasa bahwa ia mengetahui lebih dari apa yang ia beritahu.

Disamping Denica bukan tipe orang yang memang asik ketika berkomunikasi lewat telp, Denica memang sering kali membatasi komunikasi dengan teman laki-lakinya termasuk dia. Membaca pesannya yang terakhir dalam hati Denica "makasih udah ngertiin ka, maaf kalau aku selalu nyakitin."

Setelah membaca pesan itu Denica kembali mematikan data internet lalu melanjutkan niatanya untuk membaca ebook Soe Hok Gie yang berjudul Catatan Sang Demonstran tadi. Ia terkesima akan bagian demi bagian yang disajikan untuk pembacanya, halunya saat itu ia bergumam “andai kelak aku menemukan orang segigih Soe Hok Gie yang hobbinya mendaki dan menyuarakan  suara rakyat, Engga papa kan aku halu sebentar layaknya teman temanku yang halu berharap mendapatkan pasangan seperti Kim Soo Hyun yang aku sendiri terkadang ikut menertawakan mimpi lucunya. 

Aku mulai menertawakan diriku sendiri lalu aku mulai mengasihaninya, mencoba mengistirahatkan tubuh lelahku dengan beranjak ke alam mimpi lainnya. Ya aku mulai mencoba tidur menyusul Violina, barangkali kita bisa berdiskusi perihal Emansipasi atau apapun yang lain di alam mimpi hehe.


Komentar