[ Perempuan Tidak Boleh Lebih Cerdas daripada Laki-Laki ]



 “Perempuan yang hanya memikirkan baju dan make up, maka ia akan selalu dibelakang 
laki-laki”

Mindset yang  berkembang biak secara baik di Indonesia bahwa “Perempuan tidak boleh cerdas dibanding laki-laki” sepertinya sudah cukup umum ditemukan dalam keseharian meski diksi yang diungkapkan tidak pernah segamblang itu dalam menyatakannya.

Sebagai contoh, penulis memiliki lingkungan yang hobbi mendiskusikan sesuatu. Obrolan-obrolan yang terjalin bisa menjadi bahan cemilan hangat untuk kami diskusikan berjam-jam, entah hanya secara runtut atau dasar, dimulai dari organisasi, kampus, isu viral semacam dunia politik, pendidikan, sosial hingga konspirasi dan permasalahan yang sifatnya pribadi seperti  kepribadian maupun percintaan.

Meski kami suka berdiskusi, tak sering pula ujung dari perdiskusian ini biasanya tanpa kesimpulan. Mungkin terkesan aneh 'berdiskusi tanpa hasil'. Hal ini-pun menandakan seakan-akan kami melakukan hal yang sia-sia. Tapi sebenarnya kami melakukan ini atas dasar kebiasaan yang memang sejak awal terjadi meski tanpa 'perjanjian langsung' bahwa kami berdiskusi hanya karena ingin saja, tidak mesti karena kami  butuhHal itu yang menjadikan kami  tak terlalu butuh jawaban atas pengambilan sikap pro/kontra terhadap bahan diskusi yang sedang didiskusikan. Biasanya kami akan menerapkan konsep pluralisme dan toleransi kepada pendapat yang tak seirama untuk mengapresiasi opini mereka tanpa harus memaksa “aku loh yang paling baik” atau “dia loh yang paling benar”.

Dari diskusi tersebut, saya menemukan banyak hal yang bisa dipelajari secara tersirat maupun tersurat, bahwa semua manusia adalah guru, banyak pembelajaran yang bisa kita dapatakan dimulai dari membaca karakter orang dengan sudut pandang dan efek kepada perilakunya, belajar menghargai perbedaan yang ada, dan yang jelas mengasah akal untuk bisa kritis dan evaluatif dalam menghadapi suatu permasalahan tertentu.

Dalam hal ini, sebenarnya ada beberapa hal yang saya soroti tentang  imppresion diskusi khususnya dengan lawan jenis, ada beberapa pernyataan yang cukup membuat saya heran atas statment yang saya dapatkan untuk kesekian kalinya dari lawan bicara saya.

Jadi awalnya di suatu hari ketika saya berdiskusi dengan seorang laki-laki yang dia punya nama tersendiri dalam bidang akademik maupun organisasi. Dia sosok laki-laki yang cerdas (pada bidangnya) dibuktikan dengan seringnya dia mengikuti serta menjuarai lomba dan berpartisipasi menyumbang sekian piala untuk prodinya. Ia juga merupakan aktifis di beberapa organisasi kampus, dan kuakui ia memang goodlooking (bahkan dia punya banyak fans dari kalangan Kaum Hawa), jadi seakan lawan diskusiku ini memiliki kesempurnaan hidup yg hakiki wkwk. 

Kami sudah saling kenal begitu lama mungkin kisarannya  lebih lama dibanding perkenalan kami dengan teman-teman seangkatan kami. Entah, kami seperti sering dipertemukan dalam suatu kegiatan yang memang tidak sama sekali diketahui ataupun direncanakan. Sudah 2/3 kali kami disatukan di suatu lomba, pertama kami menjadi lawan lomba, yang kedua kami menjadi partner lomba. Kami-pun sudah beberapa kali disatukan dalam acara organisasi, padahal kami tidak memiliki latar belakang yang sama (fakultas, prodi kami berbeda).

Awalnya kami engga pernah tau impression person to person masing-masing. Ya sebut saja kami hanya sebatas kenal dan tahu. Ketika kami tidak sengaja bertemu dalam suatu tempat, kami hanya sebatas  senyum sapa atau basi-basi singkat saja. Tapi yang jelas, pandanganku saat itu tentangnya sama persis dengan pandangan teman-teman lain (umum) bahwa dia pintar, berbakat dll. hanya sampai disitu tidak lebih.

Namun entah kenapa lagi-lagi semesta seperti memiliki aturan untuk menemukan manusia-manusia secara random dengan waktu yang random pula. Sebenarnya kami baru saja bertemu di satu perlombaan pekan lalu tapi tiba-tiba kami disatukan kembali disatu momen yang awalnya saya hanya ingin mengidentifikasi suatu kepentingan yang sifatnya cukup 'urgent'. 

Saat itu kami sama-sama memiliki kesibukan dan memutuskan janjian hanya dengan waktu yang terbatas, hanya itu (awalnya). Ternyata, setelah bertemu kami terlibat dalam banyak perbincangan dimulai dari permasalahan masing-masing, kelebihan dan kekurangan masing-masing yang intinya hal yg sifatnya personal-pun seakan kami bahas saat itu. Awalnya kukira kami hanya  menyempatkan maksimal 1 jam untuk berbicara atau bahkan mungkin kurang dari itu. Tapi entah kenapa kami menghabiskan waktu sampai kurang lebih 6 jam yang itupun akhirnya kami sudahi karena merasa waktu memang sudah larut malam. 

Sesaat sebelum berpisah, ada satu pernyataan yang ia berikan kepadaku “Aku boleh bilang sesuatu ?”

gumamku dalam hati, “Lah kamu daritadi ngapain ? Bukannya daritadi kamu banyak banget cerita?” 

Agak sedikit intens, tiba-tiba dia berkata, “Aku kagum sama orang kaya kamu yang multitasking. Kamu bisa jadi pendengar yang baik meski public speakingmu jago, pintar nulis tapi bisa jadi deklamator, hampir disetiap organisasi sedari dulu aku ngeliat kamu memiliki peran, kamu baik, ramah, humble, dan kamu orang pertama yang bisa ngubah mindsetku bahwa 'anak SMA itu ngga senyebelin itu'”

Dari impresi yang ia utarakan, saya hanya tertarik terhadap statment “SMA senyebelin itu”, kenapa ? 

ketika saya hendak menjawab balik atas pernyataanya, dia  melanjutkan , “Aku serius kagum sama kamu, tapi boleh engga sih aku request kamu jangan terlalu cerdas hehe. Bahkan untuk orang secerdas aku aja gaberani deketin perempuan yang cerdas” ucapnya diselingi dengan tawa kecil yang diikuti dengan lekukan khas lesung pipinya.



Mendengar hal tersebut saya  justru bingung "apa maksud utuh ucapannya" dan sebelum akhirnya kami berpisah, ia sempat menerangkan “Jadi gini, perempuan cerdas tuh emang punya pesona tersendiri bagi laki-laki. contoh kecilnya, aku kira pembahasan kita kali ini cuma stuck beberapa menit, karena secara personality kamu tau aku bukan tipe orang pencerita untuk orang yang ngga terlalu sering komunikasi denganku, tapi kenyataanya kok bisa ya kita selama ini haha.” 

Sambungnya lagi, “Perempuan cerdas itu asik untuk diajak apapun. contohnya kalau diajak ngobrol apa aja ia nyambung dan yang jelas makna dan fiilnya dapet banget.” 

aku “Aku ngga tau aku harus nanggapi ini gimana, tapi aku pengin tau kenapa perempuan engga boleh cerdas ?” 

Sejenak dia berfikir lalu berkata, “Sebenarnya bukan engga boleh, tapi kelebihan itu terkadang bisa menjadi boomerang tersendiri bagi perempuan.” 

aku, “Lah bukannya semua pilihan memang ada resikonya masing-masing ?” 

ia “ iya, aku tau dampak positifnya banyak. Jelaslah perempuan di-didik untuk cerdas tapi jangan kecerdasan eh.” ucapnya kembali tertawa.

Oke sekilas ilustrasinya, selanjutnya saya akan mencoba menjabarkan terkait intisari percakapan diatas menggunakan referensi-referensi ilmiah.

Ada suatu penelitian bahwa laki-laki pada umumnya memang akan tertarik dengan perempuan yang cerdas. Releted dengan ucapan lawan diskusiku diatas "Mereka memiliki aura dan menjadikan kharisma tersendiri di sebagian besar mata laki-laki'

Namun pada kenyataanya sama seperti penjabaran yang ada dalam penelitian tersebut bahwa laki-laki tidak akan sampai mendekati perempuan tersebut hingga fase PDKT/kencan. 

Kenapa ? beberapa beranggapan karena mereka merasa minder dan engga berani aja, anggapan lainnya kurang lebih karena mereka menganggap perempuan cerdas akan sering mempermasalahkan suatu hal. Ibarat kata "Perempuan cerdas itu menarik tapi engga pacar-able", wkwk bahasa kiasannya gitu ya.

Dalam suatu survey yang menjelaskan bahwa laki-laki lebih memilih mengencani perempuan kaum marjinal atau seenganya dibawah mereka. yap lagi-lagi related sama ucapan temanku tadi yang menyatakan, “Bahkan laki-laki secerdas aku ngga berani deketin perempuan cerdas”


Analisanya begini, alasan pertama yang membuat laki-laki tidak akan mendekati perempuan yang ia anggap lebih cerdas darinya adalah naluri laki-laki akan merasa tersaingi dan gengsi. Lha kenapa hal itu bisa terjadi ? Kembali lagi, jika kita berbicara bentukan gender antara laki-laki dan perempuan, laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan dalam suatu hubungan apapun. 

Laki-laki menggunakan logika sebesar 75% dominan dibandingkan perasaannya. Ia akan berfikir bahwa 'ia akan terlihat berwibawa jika ia memang memiliki sesuatu yang 'lebih' entah masalah pencapaian, harta, ilmu etc., intinya ia tau, takdirnya adalah “harus lebih” walau makna “harus lebih” bukan berarti sesuatu yang bisa dan akan mereka sombongkan, karena pada dasarnya laki-laki adalah tulang punggung dan mereka suka saja jika mereka bisa terlihat seakan melindungi perempuan atas apapun itu."

Lalu logika laki-laki berfikir ya jika perempuan itu cerdas maka ia akan hanya mencari pasangan yang sama atau lebih cerdas dari dirinya bukan ? Normalnya mungkin iya, jika kita berbicara "logika", namun perspektif ini tidak berlaku bagi dominan perempuan yang memang lebih menggunakan perasaannya dibandingakan dengan logika.

Jika pembahasan kita adalah permasalahan "kecerdasan", kembali lagi bahwa setiap orang memiliki multiple intelligence (kecerdasan majemuk) masing-masing.  Dari statment ini harusnya kita bisa simpulkan bahwa  semua orang cerdas pada bidangnya masing-masing

Cerdas itu bawaan namun pintar itu adalah bentukan. Ini yang kadang kita masih salah persepsi bahwa konotasi cerdas adalah ia yang secara intelektual tinggi, nalar kritis, dll. Ya iya mereka memang cerdas, cerdas dalam IQ atau dalam kecerdasan majemuk dikategorikan ke dalam kecerdasan Math-Logis, dll. Kita kadang menganggap sesuatu yang selain IQ hanya dengan sebutan bakat.

Nah disini berhubung yang kita bahas semacam kecerdasan IQ, lebih khusunya bahwa perempuan tidak boleh cerdas dibanding laki-laki, hal ini memang akan sangat asik untuk kita perbincangkan. Banyak artikel yang mengungkapkan bahwa perempuan cerdas akan kesulitan dalam bidang asmaranya, perempuan cerdas akan cenderung sombong dan independen hingga akhirnya perempuan cerdas adalah awal dari pembentukan feminisme ekstrim dan berbagai stereotipe lainnya

Semua hal memang memiliki hitam dan putih masing-masing, tergantung darimana awal niatan kita, bagaimana cara proses kita, dan akhirnya terbentuklah siapa kita yang kita inginkan. Saya suka berbicara tentang pola sudut pandang, bukan karena tidak bisa menghakimi atau tidak bisa menilai secara gamblang ia hitam atau putih, melainkan kita harus bisa dinamis dan fleksibel untuk menilai sesuatu hal.

Mungkin stereotipe diatas benar, tapi tidak semuanya benar, bahkan mungkin presentasi kebenarannya sangat kecil, ya tapi ada. Bingung ? Hm simplenya ada, sebagian kecil tapi ngga semua.

Mungkin terkadang perempuan cerdas benar kesulitan dalam asmaranya, karena ia menentapkan nilai standar tersendiri yang memang jauh dari rata-rata, tak banyak yang berani mendekatinya karena sudah termakan statment tersebut. Mungkin benar juga bahwa ketika perempuan itu cerdas maka ia akan sombong dan independen. Sebenarnya kata 'sombong' dan 'independen' tidak seharusnya disejajarkan, karena mereka berbeda. Namun kenyataannya ini merupakan stereotipe yang mungkin kita juga familiar dengan ucapan “Ketika laki-laki sudah punya segalanya, maka lelaki bepotensi semakin banyak memikat wanita, namun kebalikannya jika wanita merasa punya segalanya maka ia tidak akan membutuhkan laki-laki.” Iya bukan ?

Iya itu benar, tapi coba kita kaji makna perempuan cerdas dari sisi positifnya, dari warna putihnya. Bukankah Soekarno berkata bahwa, “Negara akan bobrok jika perempuannya  bobrok, dan negara akan maju jika perempuannya maju”, lalu Soe Hok Gie, “Perempuan yang hanya memikirkan baju dan make up, maka ia akan selalu dibelakang laki-laki” Disini sangat jelas bahwa peran perempuan itu penting, apalgi jika kita menengok kisah RA Kartini dalam perjuangan emansipasinya menggambarkan bahwa perempuan itu berdaya dan harus di berdayakan.

Alasan perempuan ingin cerdas pada awalnya memang macam-macam, di mulai dari kepentingan pribadi hingga kepentingan bersama. Tapi efek yang didapatkan nantinya saya rasa tetap akan terasa bagi lingkungan sekitarnya. Ada penelitian bahwa perempuan menurunkan (mewariskan) kecerdasan 60% kepada anak-anaknya,  perempuan merupakan sekolah pertama bagi anak-anaknya. Sekalipun ia tak tertakdir menjadi guru atau dosen, ia harus bisa mengenalkan baca tulis hitung dan pengetahuan-pengetahuan lain bagi anaknya. sekalipun ia terlahir bukan  dengan profesi menjadi perawat – dokter, ia harus bisa mengasuh anak dan merawat anaknya saat sakit . Sekalipun ia terdidik bukan dalam ilmu per-masakan dan per-kokian, ia dituntut menjadi tangan penolong keluarganya dalam hal mencegah kelaparan. Perempuan dituntut untuk multitalent, Harus bisa semuanya. (ini konteks multitask yang memang harus perempuan miliki)

Baiklah jika ada pembenaran, "jadilah perempuan yang biasa-biasa saja." Lalu kita logika-kan lagi “untuk apa kita sekolah?”, “untuk apa adanya emansipasi” toh butuhnya yang selalu dibawah lelaki kan.  ?

Mungkin perempuan cerdas terlihat seperti “harus lebih”, namun percayalah jika memang ia cerdas dalam artian diimbangi EQ dan SQ yang menandakan ia juga pasti akan beretika, ia pasti mempunyai sopan santun, ia beradab dan beriman. Saya yakin mereka paham akan kadar apa yang harus ia lakukan ke semua hal. Ia dikendalikan bukan hanya oleh otak atau akal yang jika ia punya potensi dibatas wajar, hati dan nalurinya akan mencegah.

Misal perempuan cerdas mungkin lebih berpotensi melahirkan ekstrimis feminisme karena kecerdasannya, namun kembali lagi jika kecerdasannya diimbangi oleh ilmu agama yang mengingatkan bahwa kodrat perempuan dan laki-laki di mata Tuhan itu sama, yang membedakan adalah kadar  keimanan dan ketawaanya, jika ia berumah tangga ia tau laki-laki adalah pemimpinnya, Bagaimanapun juga ia harus bisa menghormati dan melengkapi.

Lalu kini pertanyaanya, Masih yakin nih bahwa perempuan engga boleh lebih cerdas dibanding laki-laki ?


Komentar