Purbalingga, kota ikonik yang terkenal akan Industri Knalpot dan makanan khas berupa Getuk Goreng Sokaraja-nya ternyata menyimpan sisi lain berupa sisi sejarah dan seni yang mungkin belum banyak diketahui oleh khalayak umum.
Di salah
satu kecamatan yang terdapat di Wilayah Purbalingga yaitu Kecamatan Rembang, para
pecinta sejarah pasti tidak asing dan memahami terkait kisah yang terjadi di
Kecamatan Rembang yaitu berupa Kisah Panglima Besar Jendral Soedirman. Jenderal
Soedirman merupakan pahlawan nasional yang lahir di Purbalingga. Atas segala jasa
yang telah beliau berikan untuk perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia guna
mengenang jasa besarnya, rumah saat masa kecil beliau diabadikan sebagai
monumen khusus yang sampai sekarang masih terawat dan terjaga keasliannya yang
berlokasikan di Rembang.
Berbicara
tentang Kecamatan Rembang, ternyata kecamatan satu ini tak hanya memiliki sisi
historis belaka melainkan bagi para pecinta Seni Indonesia ternyata Seniman
Mbah Gepuk (pembuat wayang suket yang dipamerkan saat Perkemahan Wira Karya
Nasional yang dibuka oleh Presiden Soeharto pada tahun 1990-an) juga berasal
dari Desa Wlahar, Kecamatan Rembang.
Kali ini, penulis akan mengajak pembaca untuk mengulik sisi seni budaya yang ada di Purbalingga terkait Wayang Suket yang sempat dipopulerkan oleh seniman asal Tegal (alm. Slamet Gundono) yang ternyata dicetus oleh Seniman Purbalingga (alm. Mbah Gepuk) dan kini diteruskan oleh sang cucu pertamanya yaitu Badriyanto.
Jika berbicara tentang perwayangan, terdapat banyak jenis wayang yang memang populer di Indonesia, dimulai dari wayang kulit, wayang golek, hingga wayang suket yang memiliki ciri khas dan perbedaannya masing-masing.
Sesuai dengan namanya yaitu “suket” yang berartikan rumput, wayang ini dibuat dan dianyam dari Rumput Kasuran yanbg berwarna kuning kecoklatan dan hanya dipanen pada Bulan Sura (dalam penanggalan Jawa). Alasan dipilihnya Rumput Kasuran untuk dijadikan bahan dasar dikarenakan rumput ini memiliki sifat lentur dan kuat. Sebelum digunakan, rumput kasuran harus direndam dalam air hingga layu, setelah itu rumput dipukul-pukul agar pipih, lalu dianyam menjadi bagian dari kerangka untuk dijadikan satu kesatuan yang akhirnya membentuk sebuah wayang yang sempurna.Untuk membuat satu tokoh wayang membutuhkan waktu sekitar tiga hari sampai dengan satu minggu.
Pada umumnya, wayang suket Purbalingga ini hanya berbeda pada aspek bahannya saja tetapi dari segi visualisasi, lakon, dan pementasannya tidak jauh berbeda dengan wayang kulit konvensional di seluruh Jawa, yakni mengacu pada kisah-kisah pewayangan yang ada dalam cerita Ramayana dan Mahabharata.
Seperti halnya wayang kulit, wayang suket adalah gambaran demokrasi dan otokrasi. Setiap ada jejeran wayang, selalu ada sembah, terlihat setia dan berbakti. Wayang kulit Jawa adalah gambaran budi pekerti manusia, yang hal tersebut juga tampak pada wayang suket khas Purbalingga. Bahkan, di dalam wayang suket Purbalingga terlihat selain sebagai hiasan, sekaligus sebagai wujud estetis watak dan jati diri orang Jawa. Hal ini sejalan dengan gagasan Humardani (Soetarno, 2004:79) bahwa wayang memiliki nilai rasa (hayatan), watak (temperamen), dan isi atau karep (kehendak). Watak tokoh wayang itulah yang akan melukiskan secara mendalam budi pekerti seseorang. Atas hal tersebut, wayang suket Purbalingga ini layak dijadikan sumber bahan ajar di sekolah sebagai mata pelajaran yang bermuatan pendidikan karakter berbasis kearifan lokal.
Wayang suket memiliki sebuah relasi atau hubungan antara media berkarya yang berupa suket dan ide seniman. hal ini tersirat dalam hubungan antara rumput dan filosofinya . Penggunaan rumput memiliki filosofi bahwa manusia harus saling membutuhkan dan tumbuh bersama dengan alam. Badriyanto ingin menyampaikan pesan bahwa kehidupan yang terepresentasikan oleh tokoh wayang pada dasarnya sama seperti tumbuhan (suket) yang akan menjadi tidak berguna apabila tidak berada di tangan yang tepat, dalam hal ini kaitannya adalah manusia akan menjadi tidak berguna apabila tidak berada dalam lingkungan yang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Selain itu, wayang suket dapat dikaitkan dengan manusia yang dituntut mampu menyesuaikan dan beradaptasi dengan keadaan dalam kondisi apapun dan selalu bereksplorasi untuk menjalani kehidupan. Dunia wayang lahir dari fenomena religio-magis yang dibangun oleh spirit budaya masyarakat Jawa dari zaman ke zaman.
Namun
sayangnya Bahkan di Purbalingga sendiripun wayang suket ini mulai langka
dikarenakan beberapa faktor diantaranya hanya tinggal satu pengrajin wayang suket, tingkat kedetailan yang dilakukan oleh pengrajin harus tinggi dan rumit serta bahan baku rumput kasuran yang susah dicari dan yang paling urgent adalah tingkat minat belajar sejarah dan budaya kita semakin rendah. Hal ini
sejalan dengan pendapat Soemarno (1996:50-61) yang mengatakan, salah satu sebab
punahnya wayang-wayang di Indonesia juga dikarenakan oleh cerita dan kurangnya
minat masyarakat terhadap wayang tradisi, baik pelestarian seniman maupun
penelititan-penelitian yang terkait dengan wayang.
Komentar
Posting Komentar