Percaya atau tidak..
Semua hal yang kita lakukan, sekecil apapun usaha yang kamu berikan pasti akan mendapat feedback baik dan buruk dari yang melihatnya, entah itu dinyatakan ataupun tidak dinyatakan kepadamu secara langsung. Bahkan hal seperti ‘tidak melakukan apapun’ / ‘diam’-pun memiliki reaksi dan responsif tersendiri bagi si pelakunya.
Sepertinya kita akan sepakat untuk setuju bahwa semua orang ingin
menjadi ‘baik’ dan merasa ‘bahagia’ dengan caranya masing-masing. ‘baik’ yang
dimaksud disini adalah ‘perbuatan’ bukan murni baik ‘etika’.
"Eh emang bedanya baik perlakuan
dan baik etika itu bagaimana ?"
Perbedaannya, akan dirasakan pada implementasi serta output yang
terjadi. Contohnya, “Bagi Erin, Vina adalah sosok sahabat yang baikkkkkk
banget. Salah satu contoh kebaikan yang udah dia lakuin malam ini adalah dia membantu Erin untuk berbohong ke mama biar Erin mendapat izin keluar malam .‘andai kalau Vina engga bilang aku belajar dirumahnya, fiks malam
minggu ini aku gagal date sama Rio. Terimakasih Vinaa’ batin Erin”
Iyaa, Vina dianggap baik oleh Erin karena perlakuan Vina yang bisa
diajak kompromi negosiasi/membantu lobbi untuk dapat izin keluar malam
hari kepada mama Erin. Padahal kalau menurut etika yang ada, Vina justru melakukan
kebohongan.
Yap sudah ada gambarannya kan...
Sesuatu yang bersifat 'relative' akan menimbulkan beragam persepsi, untuk menilainya ‘salah’ atau ‘benar’ itupun kita serta merta tidak bisa menerapkan standar penilaian salah satu indera saja, misal hanya menggunakan perasa(intuisi) atau logika (realistis) saja. Melainkan kita harus bisa memanfaatkan fungsi kedua hal tersebut untuk saling mengisi rongga.
Kembali ke poin awal, tentang melakukan apapun yang ingin kamu
lakukan dengan catatan tidak merugikan orang lain. Berbicara tentang hidup, kita sepakat bahwa kita hidup di dunia nyata dan dunia maya. Meski efek yang harusnya bisa kita jadikan prioritas adalah dunia nyata berhubung hampir sekitar 80% aktivitas dan kegiatan harian kita tahun ini adalah via virtual, dunia maya memberi dampak yg cukup besar untuk hidup kita.
Contoh :
Hari ini kamu membuat status berisikan video dakwah yang bertema ‘Jangan lupa baca Al-Kahfi’, kamu tidak menyertai caption apapun didalamnya hanya video singkat hasil re-post-an dari akun dakwah ig berdurasi 30 detik.
Saat kamu membuat status resikonya statusmu akan dilihat oleh teman-teman kontakmu yg tidak diprivasikan. Saat mereka melihat statusmu, secara tidak sadar (reflek) mereka akan memberikan reaksi, andai kalian tahu bentuk dari ‘acuh’/’cuek’ pun merupakan respon yang tidak direaksikan.
Ada viewers yang melihatnya, Basic-nya kamu sama dia pernah dekat
(close friend yg intinya dia
merasa ‘dia orang yang mengenal siapa kamu’) singkat waktu, kemarin ini kalian memiliki
masalah yang membuat hubungan silaturahmi kalian agak renggang. Karena
sebelumnya dia merasa kenal kamu luar dalam, dia mengetahui bahwa kamu masih
dalam proses belajar membaca Al-Qur’an tiba-tiba ia mereply statusmu dengan ‘alah
sok alim’
Menurutnya, “alahhhh, baca Quran aja masih terbata-bata kok
sok-sokan bikin status ‘jangan lupa Al-Kahfi’, jangan-jangan cuma pengin
di-notice banyak orang yaa.”
Disini ada peribahasa yang diras-rasa ternyata benar jugaa ya “setitik kesalahan bisa menghapus seribu
kebaikan”. yang kini ia pikirkan tentangmu adalah keburukan-keburukan padahal
kamu tidak merugikannya secara fisik maupun niatan. Hal itu bisa terjadi karena
dia masih membencimu pada sesuatu yang padahal kalian pernah sepakati bersama
untuk saling memaafkan.
Membaca hal tersebut, kamu jelas merasa bingung terkait apa
maksudnya yang ujungnya kamupun merasa sedih, kamu memilih untuk tidak menjawab
karena kamu memang merasa ia benar bahwa ‘kamu masih belajar Qur’an’, kamu
mempertanyakan dalam hati ‘apakah aku seburuk itu bahkan untuk orang yg padahal
tau lebih siapa aku meski itu terjadi dahulu’. Rasanya kamu ingin sekali menghapus dan menarik statusmu seolah-olah hari ini kamu tidak membuat status apapun.
Saat kamu merasakan kesedihan yg mendalam, tiba-tiba kamu mendapat
reply dari teman kelasmu. Hubungan kamu dan dia memang tidak terlalu intens,
tapi kalian sering sharing dan ngobrol banyak hal. Dia membalas “jangan lupa
baca Al-Kahfi juga yaa J semogaa kita
semua diberi perlindungan atas fitnah dajjal kelak, amiinn. Terimakasih udah
share kebaikan J semoga kita
bisa saling mengingatkan”
Membaca hal itu, kamu mulai merasa sedikit tenang. Hatimu mulai
merasa sedikit tersembuhkan atas doa positif yang temanmu sampaikan. Pada kali ini kamu memilih membalasnya dengan hal positif juga.
Lalu kamu mulai mengevaluasi terkait hal ini. Jika kita berbicara “tindakan” pasti akar dari
tindakan adalah “niat”, dan ketika kita berbicara niat , hal ini krusial
yg sifatnya privasi hanya kita dan Tuhan saja yang tahu.
Saat itu, kamu real merasa adem melihat status‘jangan lupa
al kahfi’ yang muncul diberanda lalu kamu save di galeri dan buat status tanpa niatan ingin dinotice alim
atau apapun, kamu membuat status hanya karena kamu ingin membuat status saja, toh videonya
berisi kebaikan, barangkali ini bisa jadi ladang pahala, kenapa tidak.
Namun kenyataanya, meski dia tahu isi sharemu adalah kebaikan,
dia tetap akan memandangmu ‘buruk’ karena kamu pernah mengecewakannya, kamu tidak
mengikuti standar ‘kebaikannya’ dan yaituuu kamu tetap tidak bisa mencegah
feedback keburukan atas kebaikan yg kamu beri.
Pertanyaanya,
“apa yang harus kita lakukan”
Jawabannya
“Lakukan apapun yang ingin kamu lakukan, dunia terlalu
luas untuk kamu penuhi dahaganya. Kamu tidak sesempurna itu untuk dapat
mengubah seluruh isi dunia agar menyukaimu. Bahkan jika kita berkaca pada suri tauladan
manusia sempurna yaitu Rasulullah SAW saja memiliki banyak orang yang tidak
menyukai,lalu menghina, menodai terang-terangan, bahkan berusaha melukai dan
membunuhnya. Tapi apa yang beliau lakukan ? Beliau tetap istiqomah di jalan
kebenaran"
Kuncinya selalu ada di diri kamu,fokus terhadap apa yg bisa kamu
lakukan bukan terhadap apa yang kamu dapatkan.
Kamu punya mimpi,tujuan, cita-cita yang harus direalisasikan, dan
itu hanya bisa dilakukan oleh dirimu.
Kadang tugas orang lain adalah pendukung dan penjatuh, itu saja J
Kontrolnya
tetap ada di kamu untuk memilih berhenti atau tetap menebar hal yang kamu sukai
(meski orang-orang tidak menyukaimu)
Yaa, saya setuju rasanya menjadi “orang bodo amat” itu tidak segampang mengucap/memberi nasihat “bodo amatin saja say”. Terlebih bagi teman-teman yang pemikir keras. Saya paham, mereka tidak ‘bodo amat’ bukan karena tidak ingin menjadi sesimple itu.
Percayalah, dalam lubuk hati mereka, mereka jauh
menginginkan 'aku bisa menerapkan sikap acuh untuk hal-hal yang tidak perlu',
namun rasanya hasilnya memang diluar kendali. Mereka tetap sama, mungkin
kadarnya saja yang berbeda dan itu-pun berlaku sekejap, sekejap kembali mereka
akan balik rumit sama pikiran-pikirannya sendiri.
Untuk saya pribadi yang memang mengalami riweuhnya overthinking ini, "i deserve it ( but i’m not proud with it )". Aku menerima kekuranganku dan aku mengalihkan fokus dari kekuranganku ini dengan “aku melihat banyak orang menyayangi diriku, dan menghargai semua karyaku”.
Yaa, aku memang tidak mudah
untuk mengontrol pikiranku agar tidak rumit, tapi aku bisa mengalihkan
kerumitan pikirku dengan sibuk berkarya dan membahagiakan orang-orang yang
menjadi support sistemku.
Aku dan mereka (support sistemku) adalah fokus kenapa aku bisa
bertahan dan berkembang. Mungkin dengan cara ini aku bisa sedikit abai dengan
orang-orang yang tidak menyukaiku (tanpa alasan rasional).
Sebenarnya tulisan ini ditulis karena aku ingin menulis saja dan semoga bermanfaat.
Mantabbbssss, you never know if you never try....🔥🔥
BalasHapusAjari bodo amat dong qaqa wkwk
HapusBaca aja buku " sebuah seni untuk bersikap bodo amat" buku itu mengajarkanku betapa pentingnya.......
HapusUdah khatam secara teori 4 kali tapi belum bisa praktikinnya wkwk
HapusMungkin yang ke lima kalinya yang bisa membuat hal itu dapat dipraktik kan... Ditunggu tulisan" berikutnya....
Hapus