Pernah tidak, saat kita mendengar istilah “ghosting”, hal yang ada di benak kita adalah ngedumel “dasar oknum tidak bertanggung jawab, dasar engga bisa menghargai orang lain” dll yang isinya umpatan-umpatan penghakiman.
Wajar saja sebenarnya hal ini terjadi, stereotipe ini menitikberatakan kita untuk pada akhirnya berjibaku ikut menjudge sesuatu yang mungkin kita tidak pernah tahu alur ceritanya, atau mungkin kita tahu tapi hanya penggalan sekian persen saja namun beberapa kali hal yang tidak kita sadari dan sangat disayangkan , kita ikut menghakimi orang lain atas praduga yang tak pernah kita tahu duduk perkara sesungguhnya.
Pernah tidak, kita merasa berada di posisi yang kita akui kita salah namun kesalahan itu tidak sepenuhnya bertumpu pada diri kita. Contohnya, kita memilih pergi dari sebuah hal yang pernah kita perjuangkan dengan alasan kita tidak pernah dihargai. Baiklah disini saya juga akan berargumen “Lha emang orientasi perjuangan adalah tentang penghargaan, gila dihargai dong ?” Tapi yang dimaksud bukan itu kawan-kawan. Kalaui kita berbicara tentang tolak ukur perjuangan, pasti masing-masing orang memiliki “goal” tersendiri
Misal, saat kamu pdkt dengan “z”, goal kamu bisa saja karena benar-bebar ingin membersamai si “z”, bisa jadi pula kamu hanya main-main saja dalam rangka menguji karakter si “z” dll. Namun, bukankah dalam suatu perjuangan kita butuh sistem timbal balik. Salah satu sistem timbal balik dari perjuangan adalah tentang penghargaan. Bukankah lucu jika dalam berjuang kita tidak membutuhkan peran support sistem yang asalnya memang bukan ada pada diri kita melainkan pihak sekeliling yang sedang kita perjuangkan.
Kita memilih menjauh pada banyak hal yang pernah kita kejar sedemikian keras namun kenyataanya kita tidak pernah sanggup mendekati dan mendapatkan apapun. Kita memilih menyerah saat kita merasa beberapa usaha kita memang tidak perlu diteruskan karena evaluasi yg ada selalu berakhir sia-sia.
Jika patokan kita adalah akhirat, okay i cant tell more. Tapi kita sebagai makhluk sosial yang hidup berdampingan dalam melakukan muamalah, responsibilitas sesuatu yang tidak bisa kita kontrol juga memiliki pengaruh tersendiri untuk pribadi kita bukan ?
Beberapa kali saya mendapati curhatan dari teman-teman saya terkait perasaan yang memang berpengaruh pada mental mereka. Curhat yang baru saja saya terima kemarin banget adalah curhatan dari teman laki-laki saya yang baru saja mengalami penolakan atas cintanya. Kondisi saat dia menceritakan kisahnya dia sambil nangis. Dia meminta saran apa yang harus ia lakukan agar ia tidak sakit hati secara terus menerus.
Whoa, sedikit mendeskripsikan keadaan saya saat dicurhati dia tentang kondisi tersebut,pada saat itu saya sedang sedikit riweuh dengan tugas kuliah yang memang mendekati tenggang waktu, namun berhubung dia vn sambil nangis saya-pun tidak tega untuk serta merta membiarkan chatnya berujung “hanya diread” saja.
Jujur saya-pun bingung hendak memberikan saran seperti apa kepadanya karena memang menurut saya obat patah hati itu bersumber dari patah hati itu sendiri atau berdamai dengan pilihan ‘its okay to broken heart’, selebihnya hanya pelampiasan percayalah wkwk. Eh jangan percaya ding takutnya mengecewakan.
Berdasarkann pengalaman pribadi, semakin kita menghidden bahwa kita sedang patah hati justeru kita akan sulit untuk bangkit dari kepatah hatian itu sendiri. Kenapa ? karena kita tidak mencoba jujur atas diri kita sendiri. Patah hati itu wajar kok, saat kita sedang merasakan patah hati maka rasakan saja, setelah kiranya kita bisa menerima maka mulailah menenangkan diri dengan mengambil hikmah atas setiap pelajaran yang ada.
Menurut saya kondisi proses penerimaan itu-pun bukanlah suatu proses yang bisa dilaksanakan secara instan dan mudah makanya terkadang saya juga melakukan tekhnik pelampiasan (tanda kutip positif) untuk bisa akhirnya berdamai dengan keadaan.
Berbicara pelampiasan, kita mudah sekali terdistrack dan tertrigger menjudge bahwa “melarikan diri dari masalah” adalah hal yg buruk, padahal tidak semua bentuk pelarian adalah bentuk yg buruk. Sebagai contoh ada beberapa manusia yang dengan patah hati, mereka justru menemukan siapa diri mereka sesungguhnya.
Misal saya, saya merasakan patah hati lalu saya memilih untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang sudah lama tidak saya lakukan, karena saya hobbi mendaki maka saya akan pergi mendaki ke banyak gunung dengan harapan saya bisa menemukan titik healing. Saya tidak merekomendasikan untuk cepat-cepat lagi jatuh hati, justru harusnya dengan patah hati kemarin kita bisa hati-hati untuk menjaga hati
Selanjutnya, setelah kita melakukan aktivitas-aktivitas yg bisa membuat hati kita senang, maka carilah kesibukan yang akhirnya dapat membuat kita lupa bahwa kita sedang patah hati. Saya teringat terkait sebuah kata mutiara ”jika kita tidak disibukkan dengan kegiatan positif maka kita akan dialihkan menuju kesibukan yang negatif”, salurkan bakat-bakat serta hobbi yang dimiliki lalu mulai concern melatih skill tambahan, serta fokus terhadap tugas dan kewajiban dibanding harus bucinin orang yang bahkan ngga pernah nganggap kita ada, rasanya ah mantap wkwkw.
Lalu tekhnik pelampiasan yang agak sedikit egois, (namun tidak berniatan untuk memupuk dan memberi makan rasa ego hal ini dilakukan semata-mata untuk memulihkan diri dalam sementara waktu) jika kamu butuh memblokir kontaknya sekian waktu, maka saranku blokirlah saja (sementara waktu). Hal ini mungkin akan menjadi perdebatan terkait ‘kedewasaan’ namun beberapa kali dewasa juga berarti menghargai diri kita bahwa kita itu penting dan tidak pantas untuk selalu tersakiti dengan hal-hal yang sudah tidak penting.
Saya harus memahami, bahwa ada titik dimana saat saya memilih memblokir kontak “x”, saya tidak bisa serta merta mengkaitkan bahwa “x” orang yang tidak baik. Jelas tidak, “x” baik kok namun waktunya saja yang memaksakan agar saya butuh waktu istirahat dari komunikasi dengan x.
Kenapa ? kalau misal kita memaksakan untuk mengkonsumsi dan mengkomunikasikan hal-hal yg bisa mengingatkan kita akan rasa sakit itu, kita akan sulit untuk grow dan move up. Kita akan stuck pada hal yang bisa menyakiti dan mempengaruhi diri kita.
Saya harus bisa mengerti, ada fase dimana saat saya memilih untuk membisukan kontak “y”, hal itu tidak berarti bahwa “y” melakukan keburukan kepada saya. “y” adalah orang yang pengertian, dan saya tahu “y” memiliki karakter baik yg banyak banget, namun karena ada satu dua hal yang menyebabkan hubungan diantara kita sedikit tidak baik dan apabila saya melihat status-statusnya dengan hal yang berdampak menyakiti hati, alangkah lebih baiknya saya memilih untuk tidak melihat statusnya telebih dahulu akhir-akhir ini dibanding saya harus suudzon kepada “y”.
Saya ingat quotes dari Bung Fiersa bahwa sejatinya “kita adalah toxic bagi orang yang tidak sama dengan kita”. Maksudnya apasih ? jadi gini, berhubung baik itu adalah standar relatif bagi masing-masing orang, kita tidak bisa menyalahkan apabila perlakuan yang awal kita niatkan baik eh ternyata berujung ditafsirkan buruk oleh sebagian orang.
Misal, ada orang yang memilih apa-apanya dikomunikasikan bahkan tanpa memfilter apapun ucapannya dengan alasan “aku orangnya terbuka kok”, namun karena pada saat itu moodmu sedang kacau dan kamu tidak sengaja mendengar pernyataan yg sedikit menyakitkan, kebaikan itu berdampak buruk bagimu. Iya benar sekali, baik atau buruknya kamu, toxic atau kindly-nya kamu memang kadang ditentukan pada standar orang yang memiliki visi yang sama denganmu. Namun jika bicara terkait benar atau salahnya, itu beda pembahasan lagi yaa hehe.
Sore itu, tidak sengaja pula saya membaca quotes di IG telusursejati yang menuliskan curhatan hariannya di bulan desember, berbunyi “salah satau cara menjaga kewarasanmu, kerap kali kamu butuh jeda dan butuh jarak agar semua baik-baik saja”,
Awal mula saya tidak terlalu mengerti apa maksud quotes ini, namun setelah saya mengcrosscheck ulang kata-kata ini ternya memiliki korelasi dengan beberapa pelampiasan seperti “ghosting”, “membisu” dll pada sementara waktu.
Kerap kali sebenarnya kita bisa meminimalisir perasaan-perasaan yang tak terlalu penting dengan berfokus kepada apa-apa yang memang bisa kontrol. Kita tidak bisa menahan seseorang untuk tidak membuat status yang berpotensi menyakiti kita, namun kita bisa menghindari agar kita tidak melihat status tersebut. Kita tidak bisa melarang orang lain untuk memposting hal-hal buruk, meski kita tidak seirama dengannya kita tak perlu julid dengan melontarkan kata-kata yang berpotensi melukainya, apabila dirasa memang postnya “toxic” kamu bisa memilih untuk unfollow dia kok.
Karena pada akhirnya diri kita memang tanggung jawab kita bukan, mana mungkin kita akan selalu bertahan mencintai sepenuh hati tapi berjuangnya hanya seorang diri, lepaslah ( cari yang mau berjuang bersama-sama. Mana mungkin kita akan selalu memperjuangkan orang yang memilih untuk benar-benar pergi ( mending temukan orang yang mau membersamai. Kewarasan kewarasan kita terkadang gampang sekali kita sepelekan hingga tanpa disadari kita tersadar saat kita sudah mulai kehilangan kewarasan.
Berikanlah jeda, ambil sekat untuk hal-hal yang tidak perlu selalu kau ikat. Pupuk keyakinan dan tanamkan usaha menuju kebaikan diri tanpa harus selalu membiarkan kita tersakiti sendiri. Kendalikan apa saja yang bisa kita kendalikan. Kamu berharga dan kamu perlu menghargai harga dirimu.
Komentar
Posting Komentar