[ Omnibus dan Ancamannya Pada Lingkungan ]

 A nation that destroys its soils destroys itself. Forests are the lungs of our land, purifying the air and giving fresh strength to our people


Masalah lingkungan dapat dikatakan sebagai masalah moral, yang berhubungan dengan perilaku manusia. Pencemaran dan kerusakan yang terjadi di hutan, laut, air, tanah, dan berbagai macam kerusakan lainnya diakibatkan oleh perilaku manusia yang tidak peduli dan tidak bertanggung jawab dan hanya memikirkan kebutuhan hidupnya saja. Dapat dikatakan penyebab pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang utama adalah manusia.

Terkait microblog lalu mengenai “deforestasi dan degradasi lingkungan”, apa sih korelasi lingkungan dengan Omnibus Law yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini ? Sebelum kita membahas terlebih jauh terkait dampaknya, Mari mengenal omnibus law terlebih dahulu.

 

Omnibus Law

“Omnibus”  berasal dari Bahasa Perancis. Secara harfiah dalam pembentukan UU ini mengangkut beberapa peraturan yang disatukan dalam satu UU. Hal ini yang melatarbelakangi kenapa UU ini disebut sebagai “undang-undang sapu jagat”

UU ini berisi penyederhaan 79 UU dan 1.288 pasal yang menuai kontroversi dan protes dari berbagai pihak dimulai dari kalangan organisasi masyarakat sipil, organisasi lingkungan, gerakan masyarakat adat, sosial, buruh, akademisi pelajar dan lain-lain

Alasan kenapa UU ini diprotes karena UU ini disinyalir mengandung unsur eksploitasi sumber daya alam dan akan jadi alat pembungkaman demokrasi, pelanggaran lingkungan, dan juga berpotensi melanggar hak-hak buruh.

UU Cipta Kerja ini memberi dampak luas ke berbagai sektor kehidupan. Dampak luas ini tentu akan menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana UU ini dapat mendegradasi nilai-nilai dari norma-norma yang sebelumnya terdapat dalam UU yang mengatur bidang terkait khususnya di bidang lingkungan.

 

Korelasi Omnibus Law dengan Lingkungan

Didapat dari berbagai referensi yang berasal dari web-web pemerhati lingkungan seperti greenpeace,ICEL, Mongabay Indonesia, LBH, Walhi Nasional

Banyak pasal-pasal pada omnibus law yang dapat mempercepat adanya deforestasi lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari perubahan Pasal 18 ayat 2 Undang-undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan dalam UU Cipta Kerja. ‘luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional’ itu mengalami perubahan dengan peniadaan batas minimal.

Berikut pasal-pasal yang telah dikaji oleh  para organisasi aktivis dan pemerhati  lingkungan yang dianggap sangat berbahaya bagi lingkungan itu sendiri

Perubahan pada UU No. 32 tahun 2009 dicabutnya “izin lingkungan” berimplikasi pada berubahnya fungsi  AMDAL dalam proses perizinan usaha, dimana AMDAL bukan lagi sebagai hal wajib tetapi hanya menjadi pertimbangan saja

Ironisnya wajib AMDAL hanya diberlakukan pada kriteria usaha yang proses dan kegiatannya berdampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi dan budaya. Konsekuensinya, semakin maraknya izin pendirian usaha yang tidak perlu melakukan wajib AMDAL menimbulkan dampak lingkungan yang semakin tak terkendali. Dari hal ini pemerintah terlihat sama sekali tidak mengindahkan pertimbangan lingkungan dalam kegiatan pembangunan.Dilihat dari peniadaan Pasal 36 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang mewajibkan izin lingkungan sebagai syarat suatu usaha.

Ini berkaitan pada penghapusan Pasal 38 yang menyatakan kalau izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara.

Perubahan-perubahan pasal-pasal ini menandakan bahwa “Hak gugat dari masyarakat hilang.” Hal ini erupakan usaha upaya penghilangan akses masyarakat terhadap keadilan, termasuk terhadap proses peradilan yang dijamin dalam prinsip 10 Deklarasi Rio 1992 tentang Lingkungan Hidup dan Manusia.

Dalam UU Cipta Kerja, akses informasi disebutkan dalam pengganti Pasal 39 ayat 2 jadi pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui sistem elektronik dan, atau cara lain yang ditetapkan pemerintah pusat.

Terkait pasal tsb kata Raynaldo, terkandung dua kelemahan yaitu, tidak semua daerah memiliki kemampuan mengakses sistem informasi elektronik karena keterbatasan sarana prasarana serta literasi digital.  Dan lucunya norma perubahan ini tidak mengatur kewajiban pemerintah untuk memastikan masyarakat bisa mengakses informasi itu. Karena penitikberatannya yang diatur hanyalah seputar informasi diumumkan

Padahal jika dikaji Dalam UUD 1945 pasal 28F, General Comment Komite HAM PBB paragraf 19 menegaskan kalau negara harus proaktif menempatkan informasi publik dalam domain yang mudah terakses publik

Kepastian informasi pada masyarakat ini tidak tercantum dalam perubahan Pasal 26 tentang pelibatan masyarakat dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal)

Selama ini, ketika ada kejahatan lingkungan atau tindakan merusak lingkungan di suatu wilayah, setiap warga negara Indonesia bisa dan berhak mengajukan gugatan. Namun, dalam UU Cilaka hak itu dihilangkan karena yg berhak mengajukan gugatan hanya masyarakat terdampak. 

Ditambah dengan perubahan dalam Pasal 24 terkait partisipasi publik terlihat dari penghapusan Komisi Penilai Amdal yang dalam UU Cipta Kerja diganti jadi tim uji kelayakan yang dibentuk oleh pemerintah sebagaimana komposisinya ada perwakilan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan ahli bersertifikat.

Selain masyarakat, perubahan konsep dalam penilaian amdal juga menghapus keterlibatan pihak yang konsern dengan masalah lingkungan hidup, termasuk organisasi masyarakat sipil (civil society organization/CSO. Sebelumnya, aturan ini ada dalam UU Lingkungan Hidup Pasal 30 ayat 1 huruf f

Hal paling kentara dalam perlindungan lingkungan hidup dalam omnibus law ini adalah pelemahan penegakan hukum . Hal ini terlihat dari perubahan Pasal 88 UU Lingkungan Hidup terkait tanggung jawab mutlak perusak lingkungan.

Pasal 61A UU 32/2009,dalam UU Cipta Kerja, orang perorangan atau badan usaha boleh membuang limbah B3 di sungai, laut, terus masukkan ke tanah kalau ada izin dari pemerintah.

dalam Pasal 88 di UU 32/2009 yang dipakai pemerintah menjerat korporasi pembakar hutan dan lahan, juga dihapus. “Lewat Pasal 88 UU 32/2009, kalau titik api berada di dalam wilayah izin perusahaan, ada tanggungjawab mutlak perusahaan. Mereka tak perlu membuktikan bagaimana itu terbakar dan siapa yang membakar,” Padahal, berdasarkan catatan Walhi saat kebakaran hutan dan lahan hebat Indonesia 2015, ada 349 perusahaan terlibat. Dengan penghapusan pasal ini, maka pemerintah tidak bisa sanksi kepada korporasi. merujuk pada deposit kemenangan Rp18 triliun pemerintah atas kasus kebakaran hutan dan kerusakan lingkungan yang sejak 2015-2018. Sayangnya, eksekusi dari vonis hukum ini minim.

“Dengan omnibus law ini makin terlihat jelas kalau korporasi dibiarkan melengang, sementara masyarakat terus dikekang,”

“Problem kita di implementasi penegakan hukum, bukan di atas kertas.”

Suara Terhadap UU Omnibus Law

  •  Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Walhi Nasional menilai, “Saya pikir draf RUU ini tak layak dibaca orang yang dalam keadaan waras. Isinya di luar logika. Kami melihat sedang ada upaya reinstall terhadap bangsa dan alam Indonesia. Ibarat mau diformat kembali,” kata Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Walhi Nasional
  •  Amin Multazam, Direktur Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban’ Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut mengatakan, UU ini membuka lebar investasi dan mengabaikan hak buruh serta hak lingkungan. UU ini, disinyalir bakal jadi pembungkaman demokrasi, pelanggaran lingkungan, sumber daya alam makin terancam, juga berpotensi melanggar hak-hak buruh.  
  • Herry Purnomo, peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR) mengatakan, ada risiko tinggi bagi lingkungan di balik efisiensi investasi dan kemudahan berusaha yang ditawarkan oleh UU Cipta kerja.
  • Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace, bilang, banyak pasal-pasal dalam omnibus law yang dapat mempercepat deforestasi. Batasan minimal 30% kawasan hutan dihapus dalam UU Cipta Kerja. Dalam catatan ICEL menyebut, kalau penghilangan batas minimal itu berpotensi meningkatkan alih fungsi kawasan hutan dalam proses perencanaan ruang.

Komentar