[ Kepemimpinan Perempuan dalam Sudut Pandang Islam ]

 


Islam telah menghapus diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Dalam pandangan Islam, perempuan adalah mahluk yang memiliki potensi sama seperti apa yang dimiliki laki-laki. Keberadaannya dipandang sebagai mitra sejajar dengan laki-laki secara harmonis. Tak ada perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Kalaupun ada perbedaan, itu hanya akibat fungsi dan tugas utama yang dibebankan Allah Swt, kepada masing-masing jenis kelamin yang berbeda, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain untuk saling lengkap-melengkapi. Baik laki-laki maupun perempuan keduanya mempunyai tugas yang sama penting, baik dalam domain rumah tangga, maupun kehidupan sosial.

Terkait persoalan gender pada dasarnya adalah perbedaan jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan pula kodrat Tuhan. Perbedaan jenis kelamin (seks) merupakan kodrat Tuhan, sehingga secara permanen dan universal berbeda, sementara gender adalah perbedaan  lakilaki dan perempuan atas kontruksi sosial. Satu perbedaan yang sebenarnya bukan kodrat Tuhan, tapi perbedaan yang sengaja diciptakan, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan melalui proses sosial dan budaya yang amat panjang. Perebedaan jender yang kemudian melahirkan peran jender sebenarnya tidak menimbulkan masalah, namun persoalan itu muncul mana kala ada kesan yang dipublikasikan secara cepat, bahkan mungkin telah menjadi wacana kalau peran jender tradisional, seperti merawat, mendidik dan mengasuh dipandang rendah jika dibandingkan dengan peran jender laki-laki. Laki-laki dan perempuan pada dasarnya memiliki bobot hak dan kewajiban yang sama. Oleh karena itu, tidak boleh ada pihak yang secara apriori bisa dikatakan lebih berat kewajiban dan haknya terhadap yang lain.

Anggapan bahwa beban laki-laki (beban produksi dan mencari nafkah) lebih berat dari beban isteri (beban reproduksi : mengandung, melahirkan dan menyusui) tidak serta merta bisa kita terima. Kondisi demikian tanpa disadari  ternyata telah terjadi tarik-menarik yang sulit dipisahkan antara sistem budaya dan “agama” yang memberikan kekuatan besar bagi terciptanya plot-plot dan ketertindasan kaum perempuan. 

Meskipun pada kesempatan lain, para ulama telah bersepakat bahwa tidak mungkin agama yang diturunkan Allah itu mengandung ketidakadilan atau bahkan diskriminasi golongan. Catatan ini tentu akan menimbulkan pertanyaan besar dikalangan kita, apakah sesungguhnya yang terjadi dengan adanya bias gender, adakah yang salah dalam memahami teks-teks ayat yang diwahyukan Tuhan ? 

Al-Qur’an dan Pemimpin Perempuan

Sejak 15 abad yang lalu, al-Qur’an telah menghapus berbagai macam diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, Qur’an memberikan hak-hak kepada kaum perempuan sebagaimana hak-hak yang diberikan kepada kaum laki-laki. Di antaranya dalam masalah kepemimpinan, al-Qur’an memberikan hak kepada kaum perempuan untuk menjadi pemimpin, sebagaimana hak yang diberikan kepada laki-laki. Faktor yang dijadikan pertimbangan dalam hal ini hanyalah kemampuannya dan terpenuhinya kriteria untuk menjadi pemimpin. Jadi, kepemimpinan itu bukan monopoli kaum laki-laki, tetapi juga bisa diduduki dan dijabat oleh kaum perempuan, bahkan bila perempuan itu mampu dan memenuhi  maka ia boleh menjadi hakim dan top leader (perdana menteri atau kepala Negara). 

Hal ini disebutkan dalam Surah At-Taubah ayat 71 yang artinya : “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong (pemimpin) bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah : 71)

Allah Swt mempergunakan kata “auliya” (pemimpin), bukan hanya ditunjukan kepada pihak laki-laki saja, tetapi keduanya (laki-laki dan perempuan) secara bersamaan. Berdasarkan ayat ini, perempuan juga bisa menjadi pemimpin yang penting dia mampu dan memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin karena menurut kitab tafsir Al-Marghi dan tafsir Al-Manar, kata “auliyaí mencakup “wali” dalam arti penolong, solidaritas, dan kasih sayang.

Berdasarkan penjelasan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an tidak melarang perempuan untuk memasuki berbagai profesi sesuai dengan keahliannya, seperti menjadi guru, dosen, dokter, pengusaha, hakim, dan menteri, bahkan sebagai kepala Negara sekalipun. Namun, dengan syarat, dalam tugasnya tetap memperhatikan hukum dan aturan yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan sunnah.

 Misalnya, harus ada izin dan persetujuan dari suaminya bila perempuan tersebut telah bersuami, supaya tidak mendatangkan sesuatu yang negatif terhadap diri dan agamanya, di samping tidak terbengkalai urusan dan tugasnya dalam rumah tangga. Hanya saja, dalam hal ini, ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum tentang boleh atau tidak kaum perempuan untuk menjadi hakim dan top leader (perdana menteri atau kepala Negara). 

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (lakilaki) atas sebagian yang lain (perempuan), karena mereka (lakilaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka perempuan yang shaleha, ia yang taat kepada Allah swt. lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada. Oleh karena Allah telah memelihara (mereka), perempuan-perempuan yang kamu khawatir nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar (QS An-Nisa’ : 34)

Hukum Kepemimpinan Perempuan


Al-Qur’an memaparkan kisah seorang ratu yang memimpin kerajaan yang besar, yaitu Ratu Balqis, di negeri Saba’. Hal ini disebutkan dalam Al-qur’an Surah Saba’ ayat 15. Kisah ini mengisyaratkan Ratu Balqis adalah seorang perempuan yang cerdas, berfikir cepat, bersikap hati-hati, dan teliti dalam memutuskan sesuatu. Ia tidak gegabah dan terburu-buru dalam menetapkan sesuatu, sehingga ketika ditanya tentang singgasananya yang telah dipindahkan itu, ia menjawab dengan ungkapan diplomatis, tidak dengan jawaban vulgar yang dapat terjebak. Bahkan, kecerdasan Balqis dalam berlogika dan bertauhid terlihat ketika ia melihat keindahan istana Sulaiman yang lantainya terbuat dari marmer yang kilauannya laksana air.

Pengangkatan  Ratu Balqis di dalam Al-Qur’an mengandung makna implisit bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin sebagaimana halnya laki-laki. Oleh sebab itu, Muhammad Jarir Al-Thabary dan Ibn Hazm berpendapat bahwa hadis Abi Bakrah terkait larangan menjadikan perempuan sebagai pemimpin hanya melarang perempuan menjadi top leader seperti kepala Negara Islam atau khalifah. Untuk jabatan lainnya boleh, seperti jumhur ulama juga berpendapat demikian. 

Komentar